Saya membaca berita bahwa ada anggota Komisi I DPR-RI yang berpendapat hibah F-16 yang kita dapatkan adalah rongsokan. (berita baca di sini). Lucunya, ia mengatakan itu di luar gedung parlemen. Padahal, Komisi I sudah menyetujui hibah dan retrofit atau pemodernan ke-24 pesawat dari A.S. itu.
Memang, di sini aroma persaingan cukup kental. Ada yang mengusulkan agar TNI AU membeli 6 pesawat baru yaitu F-16 Block 52. Sementara pemerintah A.S. justru menawarkan opsi lain yaitu menghibahkan 24 pesawat F-16 Block 32 yang dipermodern menjadi Block 52. Hibahnya gratis, namun untuk mengubah pesawat itu jadi “baru” perlu dikeluarkan biaya.
Sudah lazim diketahui umum (sayang buktinya sulit didapat) bahwa untuk setiap proyek pengadaan akan ada yang namanya “komisi”. Maka, adu argumentasi mengenai pengadaan pesawat “baru” atau “lama tapi diperbaharui” seyogyanya dipahami konteksnya sebagaimana saya sebutkan barusan.
Bagi awam yang pehobi militer seperti saya, tentu akan lebih gembira bila kita bisa membeli pesawat tempur baru dalam jumlah banyak. Namun, membeli pesawat lama yang masih laik terbang dan diperbaharui lebih baik daripada yang baru. Ini karena jumlahnya. Efek penggentar dalam hal jumlah lebih diperlukan ketimbang kecanggihan. Coba saja bila 24 pesawat tempur terbang bersama dibandingkan cuma 6 pesawat, mana lebih menakutkan?
Sudah saatnya bangsa ini tidak ribut melulu untuk hal-hal yang sebenarnya adalah untuk kepentingan pribadi dan golongan. Dahulu, saat B.J. Habibie memboyong 39 kapal perang eks Jerman Timur juga terjadi kehebohan. Malah berakibat negatif bagi pers karena membuat tiga media terkemuka yaitu Tempo, Editor dan Detik dibreidel. Namun nyatanya, sebagian kapal perang tersebut masih beroperasi hingga kini. Kapal kelas Parchim misalnya, sempat terlibat dalam konflik di Ambalat.
Sebaiknya kita memang rasional saja. Sebagai bangsa yang sebenarnya besar, namun ternyata terjadi kebocoran di sana-sini. Anggaran untuk gaji dan fasilitas pegawai saja sudah besar. Belum lagi yang dikorupsi dan tidak efisien. Akibatnya, anggaran negara untuk hal-hal strategis selalu saja kurang. Tak heran kita sulit memperbaharui alutsista (alat utama sistem persenjataan) TNI. Sehingga saat terjadi gesekan dengan negara tetangga kita kerap diremehkan. Maka, pilihan kerjasama pembangunan dan alih teknologi, barter atau membeli bekas merupakan pilihan logis. Yang penting kepentingan negara didahulukan. TNI harus kuat, agar negara kita dihormati di kancah internasional!