Leap dalam Personal Brand

Saya memperhatikan, cukup banyak orang yang berusaha menyulap personal brand-nya saat dewasa. Contoh paling mudah, saya mendapati setidaknya dua teman lama saya menghilangkan nama tengahnya. Jadi, namanya yang tadinya 3 suku kata jadi 2 suku kata saja. Misalnya dari “Subadi Badru Budiono” jadi “Subadi Budiono” saja. Tentu saja, dokumen otentik seperti akta kelahiran atau KTP kemungkinan tidak diubah, hanya di kartu nama atau surat-menyurat saja. Tapi itu pun sudah menunjukkan yang bersangkutan tidak menyukai nama yang diberikan orangtuanya.

Sebenarnya, untuk nama ini, ada prosedur ganti nama. Sayangnya agak repot karena harus meminta penetapan pengadilan. Hal ini karena memang diperlukan secara hukum untuk penggantian dokumen otentik seperti KTP. Sementara untuk dokumen otentik yang hanya bisa dikeluarkan satu kali seperti ijazah akan diberikan surat keterangan persamaan nama sebagai alias.

Ada lagi yang menghapus sebagian riwayat hidupnya. Saya mengenal cukup banyak orang yang rupanya ingin mengubur bagian tertentu dalam hidupnya. Misalnya karena lulusan dari perguruan tinggi (PT) tidak ternama, ia tidak mencantumkannya dalam CV. Saya mendapati seorang sobat saya yang baru saya kenal setelah jadi usahawan tidak mencantumkan dari PT mana ia berasal. Gelar di kartu namanya hanyalah gelar sertifikasi kompetensi profesi (yang diawali huruf C). Setelah saya mendapatkan buku pertamanya yang terbit 5 tahun lalu, barulah saya tahu dari kampus mana ia menamatkan pendidikannya. Bahkan salah seorang rekan yang menjadi manager di kantor saya lebih suka mencantumkan gelar S-2-nya yang dari sebuah PT di ibukota, sementara berusaha mengelak bila ditanya darimana ia mendapat gelar S-1-nya.

Di media massa apalagi, mereka yang profilnya ditampilkan lazimnya memoles personal brand-nya sedemikian rupa. Saking dipolesnya, asal jeli, kita akan melihat “leap atau lompatan di sana (Anda juga bisa menyebutnya “gap” atau “celah” kalau mau). Artinya, ada masa atau tahapan yang hilang dalam proses hidup. Dari susah, mendadak sukses. Saya menyebutnya sebagai “Cinderella story” atau istilah Dewi “dee” Lestari dalam novelnya Supernova: “metamorfosis ala kupu-kupu”. Manusia senang mencitrakan dirinya pernah mengalami kesulitan hidup, berjuang keras mengatasinya, dan kini sukses.

Tidak salah memang mencitrakan diri begitu rupa. Namun saya kok merasa ada yang kurang sreg di situ. Apa yang membuat kurang sreg? Karena leap semacam itu menandakan intensi yang bersangkutan untuk bertindak kurang jujur. Meski tidak merugikan orang lain, tapi menutupi “sejarah hidup” sendiri merupakan tindakan yang bisa dikategorikan “munafik”.

Mungkin saya agak terlalu keras memakai kata itu. Tapi saya sendiri berusaha konsisten. Terus terang, saya juga agak menyesal pernah sekolah di SMA saya dahulu. Sebabnya, tadinya saya ingin bersekolah di SMA favorit, apalagi nilai saya cukup tinggi. Sayangnya, ayah saya kurang memperjuangkan (antara lain karena harus pinjam domisili). Dengan peraturan rayonisasi yang waktu itu berlaku, terpaksalah saya bersekolah di SMA yang tidak favorit, yang terletak bersebelahan dengan SMP saya yang ironisnya justru SMP favorit. Kalau boleh dibilang, ingin saya menghapusnya dari CV saya. Toh, walau begitu, saya tidak mengingkari bahwa saya adalah alumni SMA tersebut. Saya menyadari, setidaknya itu sudah merupakan berkah tersendiri apalagi dibandingkan yang tidak bisa bersekolah. Karena itulah saya tidak ingin mengingkari “sejarah hidup” saya sendiri. Setidaknya, bila memang insya ALLAH Tuhan mengizinkan saya tampil ke hadapan publik, tidak ada “leap” dalam personal brand saya.

bhayu

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s