Kalau bukan SBY Presidennya, mungkin sulit kita mendapatkan “perhatian” dari Amerika Serikat begitu besar. Apalagi secara militer. SBY memang pernah menimba ilmu kemiliteran di negara adidaya tersebut. Bahkan beberapa kali. Di tahun 1976, ia ditempa di Airborne School dan US Army Rangers, American Language Course (Lackland-Texas), serta Airbone and Ranger Course (Fort Benning). Pada tahun 1983, ia kembali ke Amerika Serikat untuk melakukan on-the-job-training di 82-nd Airbone Division (Fort Bragg). Dan setelah ia lulus dari Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), SBY kembali lagi ke A.S. untuk belajar di US Command and General Staff College pada tahun 1991. Sebagai tambahan, beliau juga lulus dari Command and General Staff College (Fort Leavenwort) di Kansas . Sementara gelar sipil yaitu Master of Arts (MA) diraihnya dari Webster University di Missouri. Luar biasa memang ‘kenangan’ SBY pada AS. Berkali-kali menempuh pendidikan di negeri tersebut tentunya membuatnya mendapatkan perhatian tersendiri.
Ini sama saja dengan B.J. Habibie yang mendapatkan keistimewaan dari pemerintah Jerman. Pertama tentu karena Habibie adalah lulusan perguruan tinggi Jerman dan berprestasi. Kedua ia juga pernah bekerja di sana. Sehingga konon beliau memiliki kewarganegaraan ganda. Satu hal yang sah-sah saja di semua negara di benua Eropa dan Amerika.
Terus terang, meski banyak kebijakan beliau yang saya kurang setujui (tapi tunggu, siapalah saya kan?), namun saya mengakui kepemimpinannya. Kalau tsunami Aceh 2004 terjadi di masa kepemimpinan Presiden lain, mungkin akan beda ceritanya. Lha wong dulu meninjau banjir di Jakarta saja cengangas-cengenges jee, kalau di Aceh mungkin dia akan bilang Cut Nyak-Cut Nyak lagi. Kalau pesawat kepresidenan yang sudah digagas sejak zaman presiden yang perlu dituntun jadi dibeli waktu itu, mungkin beliau malah tidak sempat menikmati.Malah mungkin teman-temannya yang bersarung diajak numpak rame-rame buat mudik ke Jombang.
Nah, kini, ada prestasi pemerintahan SBY yang secara infrastruktur bisa dibanggakan dan menjadi “legacy”. Misalnya jembatan Suramadu, yang meski digagas di era Megawati, namun selesai di era SBY. Secara militer, SBY juga berhasil membuat AS mencabut penuh embargonya, walau setahu saya pencabutan bertahap sudah dimulai di era Gus Dur. Kini, ada lagi prestasi pemerintahan SBY yang patut dibanggakan. Yaitu keberhasilan memperkuat jajaran TNI Angkatan Udara (TNI-AU) dengan pesawat-pesawat tempur. Ada yang baru dibeli dari Brasil yaitu Super Tuscano, namun ada yang bekas. Saya justru lebih menyoroti yang bekas. Karena biar bekas, namun canggih dan dari AS.
Jumlahnya pun lumayan, 24 unit atau 2 skuadron kecil (1 skuadron penuh=16 pesawat). Jenis pesawatnya adalah F-16 Block C yang lebih canggih daripada milik kita yaitu Block A/B. Saya ingat, dahulu sewaktu Soeharto membelinya dan mulai datang di tahun 1989, pesawat tersebut jadi primadona. Sewaktu diadakan Indonesia Air Show di tahun 1996 saja, pesawat tersebut masih jadi primadona. Saya yang kebetulan memegang pas khusus beruntung sempat berfoto dari jarak amat dekat. Bahkan bisa sambil memegang pesawat itu, yang tidak boleh dilakukan pengunjung biasa. (sahabat saya Noval Eriawan bahkan sempat saya foto di depan F-16 dengan cat Elang Biru yang sekarang sudah dihapus itu).
Saya memuji pemerintahan SBY yang menepikan pro-kontra di masyarakat dan mengedepankan kepentingan bangsa. Menerima bantuan dari AS -karena pesawat tersebut hibah- bukanlah tabu. Kita juga baru saja menerima kapal patroli cepat dari Brunei Darussalam. Mungkin yang perlu ditindaklanjuti adalah rencana hibah tank dari Yordania semasa Letjen Prabowo Subianto masih menjabat Pangkostrad dulu. Karena beliau dan mertuanya lengser, lantas rencana itu jadi tak jelas. Kondisi negara kita yang memang masih terpuruk perekonomiannya tentu layak dibantu. Jadi kita tak perlu malu. Yang penting kita tak minta-minta kan? Walau mungkin ada “udang di balik rempeyek”-nya, tapi saya rasa tidak masalah. Dengan kemampuan diplomasi Indonesia, mustinya kita bisa menegosiasikan “udang”-nya. Kan yang penting “rempeyek”-nya sudah kita terima dan makan toh?
Sekali lagi, kedekatan kita dengan AS itu sulit dicapai bila Presidennya bukan SBY. Seorang yang punya curriculum vitae penuh dengan ijazah dari negeri adikuasa itu. Jadi, di balik segala kekurangan beliau, sedikit-banyak saya bersyukur. Alhamdulillah…
ya, syukur yang lebih dalam, klo bisa pemimpin Indonesia yad, seperti Umar bin Abdul Azis, dlm pemerintahan 2 tahun bisa memakmurkan rakyatnya, sampai-sampai tak ada yang miskin lagi, tapi gimana Negara kita sekarang!