Personal Brand (1)

Setelah beberapa kali membahas mengenai brand atau merek, kini saya hendak membahas mengenai personal brand atau merek pribadi/diri. Pada hari Rabu, 8 Juni 2011 saya membaca kolom “Branding Solution” di harian Seputar Indonesia. Kolom itu ditulis oleh Amalia E. Maulana, Ph.D. berjudul “Mana Sahabatmu SBY?”

Beliau yang seorang brand consultant dan ethnographer di etnomark tentu jauh lebih ahli dan pakar daripada saya. Ibaratnya, beliau itu pandai dan cerdik seperti kancil, sementara saya ini pengetahuannya cupet, sempit dan kecil bak upil. Jelas sekali: beliau kancil, saya upil.

Membaca tulisan beliau itu, saya berkali-kali melongo. “Oooo” panjang kerap terlontar, walau cuma di pikiran (karena saya kan membacanya tidak keras-keras seperti anak TK. Hehe).

Saya jadi tambah tahu, bahwa membangun personal brand bukanlah kerja semalam. Dan yang lebih penting dari membangunnya justru merawatnya alias me-maintenance personal brand yang sudah terbangun. Bila hal ini tidak dilakukan, niscaya kerja-keras membangunnya akan sia-sia belaka.

Dalam tulisan di Sindo tersebut, Amalia menekankan perlunya peran “brand ambassador” yang berbeda dengan “celebrity endorser”. Perbedaan dua istilah tersebut terletak pada “ketulusan” dalam memperkenalkan merek. Bila yang pertama adalah konsumen (customer) yang puas, yang kedua adalah selebriti yang dibayar untuk mempromosikan merek. Peran pertama dilakukan karena menyadari bahwasanya merek yang dipakainya memang bagus sehingga perlu diberitakan dan diberitahukan kepada yang lain. Sementara peran kedua semata karena dibayar sehingga bisa saja konsumen yang jeli akan meragukan testimoni yang bersangkutan. Peran pertama merupakan bentuk “word of mouth” dan bisa dikategorikan sebagai “viral marketing”, sementara yang kedua adalah “commercial advertising”.

Personal Brand ini lekat sekali dengan pencitraan. Akibatnya, seringkali terkesan citranya “lebih indah dari warna asli”-nya. Palsu? Bisa saja ditafsirkan begitu. Namun memang “aksi panggung” biasanya beda dengan “kehidupan asli” seseorang. Misalnya saja seseorang yang berprofesi sebagai pelawak, tentu tak bisa kita harapkans setiap saat selalu ceria dan tertawa bukan?

Dalam kaitan dengan tulisan Amalia, seringkali membangun jaringan pertemanan yang efektif juga bisa berfungsi sebagai “brand ambassador”. Mereka akan dengan sukarela membantu brand kita bila puas atua merasa mendapat manfaat. Dewi “Dee” Lestari misalnya, pernah berhasil melakukan hal ini saat memasarkan novel pertamanya Supernova. Lewat “teman-teman”-nya saja, novel ini berhasil menjadi best-seller dan terjual dalam jumlah cukup banyak. Bahkan tanpa disadari, personal brand yang terbentuk tak sengaja pada diri Norman Kamaru juga dilakukan oleh para brand ambassador.

Tentu saja, brand ambassador  tidak bisa diarahkan seperti halnya celebrity endorser. Namun justru karena itulah ia lebih murni dan tulus. Seperti sering tertulis di warung atau rumah makan: “Bila Anda tidak puas, beritahu kami. Bila Anda puas, beritahu teman dan keluarga Anda.”

One response to “Personal Brand (1)

  1. Ping-balik: Personal Brand (2) « LifeSchool by Bhayu M.H.·

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s