Miris rasanya menyaksikan dua hal bertolak-belakang di acara televisi semalam. Sehabis menyaksikan acara bernuansa optimisme di Metro TV, yaitu “Bangkit Indonesia” dan “Kick Andy”, lantas ada berita kegagalan Kongres PSSI yang diadakan di Hotel Sultan-Jakarta. Sementara dua acara pertama memberikan motivasi dan inspirasi, berita terakhir justru membuat kita demotivasi.
Motivasi memang diperlukan, terutama dari dalam diri sendiri, agar momentum kebangkitan -apalagi kalaubersifat nasional- hendak dilakukan. Kita tidak mungkin menenggelamkan diri dalam kekelaman bila ingin bangkit. Sayangnya, tampaknya hal itulah yang dengan sadar dilakukan oleh para peserta Kongres PSSI semalam.
Posisi saya yang tadinya mendukung LPI (Liga Primer Indonesia) sebagai alternatif penyelenggaraan kompetisi sepakbola yang lebih baik, malah kini jadi mempertanyakan. Kenapa para penggagas LPI yang mengklaim didukung kelompok pemilik suara dengan jumlah mayoritas justru memaksakan kehendaknya sendiri. Adagium “demi kepentingan bangsa yang lebih besar” seolah tak ada maknanya sama sekali. Padahal, dua orang yang didukung oleh Kelompok 78 adalah dua orang dengan integritas yang seharusnya tak diragukan lagi.
Di negeri ini, memang sepertinya motivasi cuma ada di kelas-kelas yang diajarkan para motivator. Musti bayar lagi. Padahal, sebenarnya seluruh bangsa ini butuh motivasi untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Rasanya percuma orang-orang hebat bicara di atas panggung -seperti semalam ada lima panelis di acara “Bangkit Indonesia”-nya Metro TV termasuk Ary Ginanjar Agustian-, kalau praktek di lapangan seperti yang terjadi di Kongres PSSI semalam. Rasanya, motivator sekaliber Ary pun tak akan mampu membuat para peserta Kongres PSSI mengeliminir ambisi pribadi dan kelompoknya demi “Indonesia emas” atau apa pun namanya, intingnya demi kepentingan bangsa. Rasanya, motivasi sehebat apa pun tak akan mampu mengalahkan motivasi meraih keuntungan sesaat.
Anda bisa bilang saya cuma “ngomong doang” (well, yang benar mungkin “nulis” doang, haha). Walau begitu, sama seperti Soekarno di awal masa pergerakan nasionalnya, juga sama dengan Soetomo dan dr. Wahidin Soedirohoesodo, justru mereka memulai pergerakan yang kemudian diikuti momentum yang sekarang kita sebut “Kebangkitan Nasional” dengan menulis. Mengapa begitu? Karena menulis, dan juga mengajar, merupakan tindakan untuk mengubah persepsi, paradigma dan pola pikir atau mindset kita. Dengan begitu, pada akhirnya akan timbul penyadaran dan pencerahan pada situasi dan kondisi yang terjadi, untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Dengan terus “menggonggong” pada situasi yang terjadi, saya berharap dapat menjadi “anjing penjaga” yang baik, bersama-sama dengan para “anjing penjaga” lain (termasuk pers dan LSM). Sayangnya, saat ini sepertinya kami cuma dianggap bak anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kritik dari kita semua dianggap tak berguna dan tak didengar oleh penguasa.