Seorang anggota Komisi V DPR-RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernama Arifinto terpergok oleh kamera wartawan Media Indonesia M.Irfan sedang membuka video porno di komputer tabletnya. Masalahnya, ia melakukannya saat sedang dilakukan Sidang Paripurna DPR tepat saat Ketua DPR Marzuki Alie sedang membacakan keputusan sementara sidang paripurna (berita di sini dan di sini). Seperti biasa, tindakan yang hanya dilakukannya kurang sekitar 2 menit itu -meski ia sendiri mengakui hanya sekitar setengah menit- lantas dikecam. Marzuki Alie sendiri malah sempat bercuit di Twitternya soal ini. Maka, terjadilah “ribut-ribut nggak penting” untuk kesekian kalinya.
Saya pribadi cenderung berpikir sangat liberal dalam soal ini. Bagi saya, kalau memang negara kita mau maju dan demokratis, jelas negara harus tidak ikut campur dalam urusan pribadi warga negaranya. Ini termasuk dalam soal pernikahan, intelijen, dan pornografi. Negara hanya memfasilitasi dan memberikan rambu-rambu, tapi tidak masuk ke dalamnya. Inilah perdebatan yang sempat mencuat saat RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mengemuka beberapa waktu lalu. Ketidaktegasan pemerintah melindungi prinsip Pancasila yang sekuler dan kebebasan warga negara dalam kerangka Bhinneka Tunggal Ika membuat korban bahkan sempat jatuh saat terjadi bentrokan. Ada sekelompok kecil warga negara yang merasa keagamaannya terusik lantas memaksakan penafsirannya sendiri.
Negara tidak boleh memposisikan diri sebagai penjaga moral warga negaranya. Karena sesuai teori pemisahan kekuasaaan terutama dari Jean Jacques Rousseau dan Montesquie, jelas negara tidak mengurusi moral warga. Bahkan kekuasaan pun terbagi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pengelola negara yaitu pemerintah hanya menguasai ranah eksekutif.
Moral adalah ranah pribadi tiap orang. Kalau percaya Tuhan, maka urusan yang bersangkutan cuma dengan Tuhan. Sejak Renaissance bahkan terjadinya Reformasi Kristen oleh Martin Luther dan Calvin, gereja sebagai lembaga agama bahkan tidak berhak lagi mengurusi moral warga negara secara hukum. Saat ini, hampir tidak ada negara teokrasi yang masih tersisa, kecuali Tahta Suci Vatikan. Bahkan negara-negara berlandaskan Islam pun kepala negaranya bukanlah Sang Imam Besar. Ada lagi pengecualian seperti di Yogyakarta, namun negara ini tinggallah simbol belaka karena sudah bergabung ke dalam NKRI sebagai provinsi Daerah Istimewa. Di Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono bergelar Sayidin Panatagama. Gelar inilah yang tidak lagi disandang para Sultan, Emir atau Raja di negara-negara Islam sejak Kekhalifahan Islam terakhir di Turki Otsmani runtuh pasca Perang Dunia I.
Nah, dalam konteks ini, moral tiap orang bukan lagi menjadi urusan negara. Termasuk soal pornografi. Di negara-negara maju, yang ada hanya pembatasan dan pengaturan, bukan pelarangan. Karena secara pribadi, mengkonsumsi pornografi adalah hak asasi manusia bagi mereka yang sudah dewasa. Perlindungan dilakukan terhadap anak-anak dari eksploitasi pornografi, karena bagi yang dewasa dianggap sudah mampu dan berhak menentukan pilihan sendiri.
Kesalahan anggota DPR dari FPKS tadi hanyalah ia mengkonsumsi materi pornografi di ranah publik, yaitu di tengah sidang paripurna DPR. Padahal, andaikata ia melakukannya di ranah privat, seharusnya negara tak berhak masuk ke area itu. Meski rekannya yang sesama dari PKS dan menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) melakukan penyensoran terhadap materi pornografi di internet, hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan andaikata SBY tegas (antara lain karena ia melakukannya hanya melalui himbauan dengan cara mengundang pimpinan provider internet untuk rapat di kantornya, tidak melalui UU). Banyak hal yang seharusnya menjadi perhatian negara, terutama meningkatkan kesejahteraan rakyat dan itu tidak termasuk menjadi penjaga moral warganya.