Menjaga Lidah

“Tertarik, tapi ini buang waktu. Karena kerjaan saya banyak,” demikian komentar Guruh Soekarno Putra saat ditanya wartawan apakah dirinya berminat membuat film perjuangan (berita baca di sini). Wah, bagaimana menurut Anda jawaban beliau?

Maaf saja ya, bagi saya, jawabannya terkesan jumawa. Kurang “menjaga lidah”-nya. Kalau Garin Nugroho, Hanung Bramantyo atau Eros Djarot mengetahuinya, bisa jadi akan tersinggung. Membuat film dibilang buang waktu? Wah, kalau begitu, menulis blog macam saya ini disebut apa ya? 😀

Karena ayah saya sempat mengenal langsung keluarga Bung Karno terutama saat “zaman susah” peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, beberapa kali saya mendapatkan cerita tentang “kelakuan” mereka. Tentu saja, banyak hal pribadi yang tidak boleh diungkapkan kepada publik. Namun, menurut ayah saya, memang putra-putri tokoh pujaan saya itu kebanyakan “bermulut tajam”. Hanya “Mas Tok” -panggilan akrab Guntur Soekarnoputra putra tertua Soekarno dengan Fatmawati- yang berhati-hati saat bicara.

Kakak Guruh, Megawati Soekarnoputri, dalam kapasitas sebagai Ketua Umum DPP PDIP, pada hari Minggu (20/3) lalu juga melakukan tindakan yang bagi saya kurang pantas. Dalam forum Rapat Koordinasi (Rakor) 3 Pilar PDI Perjuangan Se-Jawa Timur, ia memarahi Ketua DPC setempat (berita di sini). Ini mengulangi kemarahannya saat pencanangan program DPC PDI Pelopor di Klaten hari Kamis (17/3) sebelumnya  (berita di sini). Saat itu, ia memanggil Ketua DPC PDIP Klaten Agus Riyanto, SH ke atas panggung dan memarahinya bak anak kecil. Padahal, Agus juga menjabat sebagai Ketua DPRD II Klaten.

Tindakan macam ini sebenarnya tidak pantas dilakukan, karena merendahkan harkat dan harga diri manusia. Marah dengan ucapan tajam saja sudah tak pantas dilakukan, apalagi ini di depan ratusan orang. Tentu saja hal itu mempermalukan pihak yang dimarahi. Sebaiknya, bila memang ada masalah yang perlu dibicarakan, dipanggil saja ke ruangan tertutup, dimana tidak ada pers dan orang selain yang terkait.

Sebagai tokoh masyarakat (public figure), apalagi sebagai pemimpin, seharusnya memberikan teladan yang baik. Marah-marah di depan umum jelas menunjukkan sifat agresi, dimana seharusnya saat kondisi bangsa seperti ini disejukkan dengan ucapan yang menenangkan. Dalam konteks ini, sebenarnya tidak hanya beliau berdua yang kerap tidak hati-hati saat berbicara atau berkomentar kepada publik terutama yang diliput pers. Ini barangkali karena menganggap masyarakat lebih rendah daripada mereka sehingga pantas direndahkan. Padahal, “menjaga lidah” merupakan manifestasi dari “menjaga hati”, dan itu menunjukkan akhlak mulia.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s