Gempa 9.0 pada Skala Richter di bagian utara Pulau Honshu di Jepang yang kemudian diikuti tsunami menyebabkan kita semua tersentak. Teknologi negara yang termasuk kelompok G-8 tersebut begitu majunya hingga rekaman kejadian yang dibuat oleh televisi dengan menggunakan helikopter bisa disiarkan secara “real time” ke seluruh dunia. Maka, kita bisa menyaksikan langsung betapa mengerikannya saat ‘alam mengamuk’!
Di sini, kita bisa menyaksikan kesiapan pemerintah Jepang dalam menanggulangi bencana. Meski skala gempa dan tsunaminya lebih besar dari Aceh, namun korbannya ternyata tidak sebesar di negeri kita. Alarm peringatan sudah berbunyi beberapa waktu sebelumnya sehingga area pantai sudah relatif kosong penghuni. Walau begitu, kita bisa melihat bahwa peradaban manusia dengan teknologi sehebat apa pun tak kuasa melawan alam. Demikian pula Jepang yang sangat siap karena terbiasa mengalami gempa bumi.
Di Jepang, agama aslinya adalah Shinto. Meski kini banyak yang beralih ke Buddha atau Katholik, namun agama nenek moyang orang Jepang termasuk agama resmi Kaisar dan keluarga kerajaan adalah Shinto.
Dalam agama Shinto, dewa tertingginya adalah “Amaterasu Omikami” atau Dewa Matahari yang berjenis kelamin wanita (Dewi). Karena itu, tak heran apabila bendera negara itu adalah “Matahari Terbit” sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhannya. Setiap Kaisar Jepang juga dianggap keturunan sang dewi tersebut. Selain sang dewa tertinggi ada banyak dewa lain. Ini lazim dalam polytheisme. Setiap dewa umumnya mengatur satu aspek atau kekuatan tertentu di alam. Akan halnya manusia, kebajikan yang dilakukan manusia semasa hidupnya akan membuat rohnya (atau disebut “Tamashii“) akan hidup kekal selamanya sebagai sebuah entitas kekal yang disebut “Kami”. Sementara yang memilih berada dalam kejahatan akan pergi ke dunia bawah atau “Yomi“.
Namun, konsep kiamat, pengadilan hari akhir, surga dan neraka tidak dikenal dalam Shinto. Dalam kajian agama, selain dikategorikan sebagai polytheisme, Shinto bisa dikategorikan pula sebagai pantheisme atau meyakini alam atau manifestasinya sebagai “super being” yang kita kenal sebagai Tuhan. Karena itu, bagaimana hubungan manusia dengan alam sangat penting bagi pemeluk Shinto. Di mana tindakan itu akan menuntun menuju penyucian jiwa. Bukan pahala dengan sorga setelah melewati pengadilan Tuhan di hari kiamat yang jadi tujuan hidup penganut Shinto, melainkan penyucian jiwa menuju jiwa yang kekal dan hidup selamanya di alam raya.
Gempa sendiri, diyakini sebagai efek dari menggeliatnya “catfish” (sejenis dengan ikan arwana) yang dijuluki “namazu” di alam para dewa. Ikan ini ditaruh oleh dewa bernama “Takemikazuchi” untuk menjaga Prefektur Ibaraki, dimana di dalamnya termasuk kawasan kerajaan atau “Kashima Jinguu“. Untuk menghindari kemarahan dewa, lazimnya diadakan pemujaan di kuil. Biasanya ritual ini dilakukan di bulan Oktober, pada hari raya yang disebut “Izumo“. Begitulah cara orang Jepang yang meski modern peradaban dan teknologinya, kepercayaannya kepada dewa-dewa kuno tetap tak luntur.