Pagi ini, sejak jam 6 saya sudah berada di sebuah cafe di kawasan Thamrin. Ada klien yang meminta bertemu pagi-pagi sebelum ia ke kantor. Yah, namanya juga ikhtiar… ya dijalani saja toh. Saya berusaha untuk menang di setiap langkah kehidupan yang saya jalani.
Walau begitu, saya harus belajar untuk menjadi nomor dua. Lebih tepatnya lagi: menerima kekalahan. Sejak SMP, sebenarnya saya dipaksa menerima kenyataan bahwa di luar “dunia aman” saya, banyak sekali orang-orang yang jauh lebih hebat daripada saya. Itu karena sewaktu SD, saya dikondisikan oleh keluarga sebagai yang “ter-“. Termasuk pula di sekolah, prestasi akademik saya adalah yang terbaik. Namun, ternyata di bangku SMP, saya lebih tertarik kepada organisasi dan meninggalkan minat di bidang akademik.
Beasiswa merupakan hal yang tidak saya kejar. Ini tentu berbeda dengan teman-teman yang merasa perlu melakukannya karena kesulitan biaya. Dan ini adalah salah satu yang saya rasa saya harus menerima kekalahan tersebut.
Kini pun, sebagai usahawan saya harus dipaksa menerima kekalahan. Gagal memenangkan tender misalnya, atau yang agak sulit diterima adalah CSR atau uluran tangan kami ditolak lembaga yang kami tawari. Lucu juga. Sudah diberi tapi ditolak. Ini yang membuat saya bingung dengan ‘gaya’ orang kita. Saya jadi teringat pada saat tsunami Aceh-Nias dimana pemerintah menolak sejumlah bantuan dan mengusir relawan asing. Ini membuat kita seolah tak beda dengan Korea Utara atau Republik Rakyat China.
Demikian pula dalam bidang lain. Kalau dalam studi, saya beberapa kali tersandung. Mungkin juga kali ini. Tapi tersandung itu tidak membuat saya patah arang. Saya malah mendaftar lagi dan mulai lagi. Hanya saja, terkadang dalam hal yang terasa remeh, bagi saya agak sulit menerima kekalahan.
Bagi anggota DPR atau politikus pun demikian pula. Kekalahan pihak pengusul angket kemarin bisa jadi akan ditindaklanjuti dengan aksi berikutnya. Padahal, menerima kekalahan dengan lapang dada adalah sebuah realitas hidup.