Mau Dibawa Ke Mana Pembangunan Bangsa Ini?

Hujan hari-hari ini masih membasahi Jakarta. Bahkan di malam hari ini, saat saya mengetik posting ini di sebuah cafe di kawasan Thamrin. Banjir sudah melanda beberapa wilayah di ibukota. Meski Fauzi Bowo selaku Gubernur DKI Jakarta tampaknya sudah berupaya melakukan upaya perbaikan saluran air, namun hasilnya belum optimal. Tentu saja hal itu karena adanya proses yang masih berjalan.

Dalam hal ini, meski saya mengkritik kelambanan pemerintah menangani dua masalah terbesar di ibukota -yaitu banjir dan kemacetan- namun saya melihat secara fair bahwa pemerintah sudah berupaya mengatasinya. Pembangunan beberapa fly pass dan under pass serta pelebaran jalan misalnya, merupakan salah satu upaya mengatasi kemacetan. Saat ini ada beberapa proyek yang sedang dikerjakan. Pembangunan Mass Rapid Transit (MRT) tampaknya juga akan dilanjutkan. Meski konsepnya belum matang benar. Yang sudah jalan baru moda transportasi bus di jalur khusus yang kita kenal dengan busway TransJakarta. Sementara proyek monorail ditangguhkan dan subway malah masih jauh panggang dari api. Walau begitu, sudah ada rencana menggusur stadion Lebak Bulus yang akan dijadikan terminal MRT tersebut. Proyek besar lain yang digagas Pemda DKI Jakarta adalah pembangunan tanggul raksasa yang akan menghadang air laut di sisi utara pantai provinsi ini. Sebuah gagasan besar yang bila terwujud akan luar biasa dampaknya. Ibukota kita akan terlihat modern dan diharapkan mampu mengatasi sebagian sumber banjir.

Tinggal di ibukota Indonesia sejak lahir membuat saya tahu perkembangan kota ini. Apalagi saya sendiri kerap berkeliling kota memuaskan keingintahuan saya. Banyak sudut kota yang sudah berubah. Namun satu hal yang terasa sekali adalah kekacauan dan kesemrawutan. Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) terkesan tidak ditata rapi. Bangunan kuno dan bersejarah bisa saja digusur dengan dalih pembangunan. Salah satu yang terkena dampak ini adalah Pondok Gede. Ini adalah sebuah rumah besar yang menjadi asal-muasal nama Pondok Gede, sebuah kawasan di perbatasan Jakarta Timur dengan Bekasi. Sejak digusur dengan dalih pembangunan Pondok Gede Mall tahun 1990 (kalau tidak salah ingat), pembangun mall di atas  tanah milik TNI AU itu tidak memenuhi janjinya untuk membangun replikanya.

Meski secara teritori kawasan ini masuk Jawa Barat, namun karena lebih dekat ke Jakarta, maka administratifnya banyak yang masih ke Jakarta. Bahkan kepolisiannya pun masuk wilayah hukum Polda Metro Jaya. Maka, saya menganggap Pondok Gede juga bagian dari kesemrawutan ibukota.

Sebenarnya, kekacauan RTRW tidak hanya di ibukota saja. Melainkan di seluruh wilayah nusantara. Tidak ada rencana jelas mau dibawa ke mana pembangunan bangsa ini. Para politikus masih saja sibuk mengendus-endus kesempatan meraih kekuasaan -dan juga kekayaan- lebih besar. Para pengusaha papan atas sibuk memperkaya diri sendiri. Sementara rakyat miskin berjuang keras hari demi hari mengatasi harga-harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Pembangunan sepertinya hanya ditujukan secara fisik, nyaris tak beda dengan Orde Baru. Kalau begini caranya, mending kita panggil saja Soeharto dari liang kuburnya. Karena di masa dia memimpin, kondisinya serupa dengan saat ini. Hanya saja minus kerusuhan di mana-mana, dan beberapa kondisi lebih baik malah. Bedanya cuma sekarang kita lebih bebas bicara dan berpendapat, malah sering tanpa tedeng aling-aling. Apakah kita mau dipimpin oleh zombie?

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s