Hari ini dirayakan oleh banyak orang sebagai hari kasih sayang. Meski konon berasal dari pemujaan terhadap St. Valentino yang tentunya dari tradisi Kristiani, kini Valentine Day lebih merupakan sebuah budaya pop atau pop culture. Oh ya, bagi Anda yang merasa ‘murtad’ apabila ikut merayakan hari kasih sayang, sebagai informasi saja, perayaan (feast) untuk St.Valentine telah dikeluarkan dari daftar kalender peringatan Santo-Santa resmi yang dikeluarkan oleh Tahta Suci Vatikan sejak tahun 1969. Lagipula, sebenarnya ada 14 orang martir agama Kristiani Katolik Roma yang bernama Valent dan turunannya (seperti Valentino atau Valentinus). Maka, bisa dibilang cerita soal asal-usul Valentine Day dari kisah St. Valentino cuma legenda yang lebih menjurus kepada dongeng belaka. Ini sama saja dengan kisah mengenai Santa Claus yang tidak jelas sejarahnya.
Baik Natal dengan Santa Clausnya maupun Valentine Day kini sudah menjadi konsumsi masyarakat sebagai bagian dari eksploitasi kapitalisme. Sebenarnya, kini semua jenis perayaan agama sudah menjadi komoditas. Berbagai barang diproduksi untuk memenuhi hasrat konsumerisme masyarakat. Makna intrinsik religiusitas perayaan tersebut menjadi hanya dirasakan oleh penganut agama yang beribadah di rumah ibadah masing-masing.
Vincent J. Miller dalam bukunya Consuming Religion: Christian Faith & Practice in a Consumer Culture (New York: Continuum, 2005) antara lain mengatakan bahwa budaya konsumsi atau konsumerisme telah mengubah cara pandang kita terhadap kepercayaan agama berikut narasi dan simbolnya. Hal ini diakibatkan budaya konsumerisme mampu menyerap segala macam kritik menjadi bagian dari cantolan pemasarannya. Ide dasarnya adalah konsep “commodification of culture” yang awalnya dicetuskan oleh Karl Marx.
Maka dari itu, mengkonsumsi hari kasih sayang sebagai budaya populer bagi saya bukanlah murtad. Kita cuma menikmati perayaannya, tanpa melakukan pemujaan kepada orang suci terkait per se. Silahkan saja mengirim bunga, coklat atau boneka kepada orang yang Anda kasihi. Namun jangan lupa, orang yang Anda kasihi seharusnya bukan cuma pasangan hidup atau kekasih, tapi juga ada orangtua, sahabat atau kerabat. Bahkan seharusnya juga ada orang-orang yang lebih membutuhkan seperti para fakir-miskin, anak terlantar, yatim-piatu dan golongan manula. Esensi dari hari kasih sayang inilah yang harus kita ambil dan tebarkan.
Alih-alih menyebarkan kekerasan seperti dipertontonkan secara vulgar oleh sebagian kecil elemen masyarakat dengan menyerang elemen masyarakat lainnya, jelas lebih baik menyebarkan kasih sayang. Kita bangsa yang cinta damai bukan? Bukan cinta kekerasan. Apabila kita tebarkan kasih sayang, maka ke-bhinneka-an bangsa kita tak perlu terancam (terinspirasi dari kepala berita/headline harian Kompas hari ini). Karena perbedaan dipandang sebagai rahmat Tuhan, yang seharusnya justru menambah kasih sayang sesama anak bangsa. Bukankah kebun yang berisi bunga aneka warna lebih indah daripada yang hanya ada satu warna saja? Mari… tebarkan kasih sayang kepada sesama. Tolak kekerasan!