Tuhan

Sehari setelah Natal, saya memikirkan soal Tuhan. Soal yang secara teknis tak akan ada habisnya dibahas. Agama dengan segala cabang ilmunya telah membahasnya ratusan tahun. Juga kajian budaya, antropologis, bahkan filsafat. Polemik soal ini baru akan terjawab di akhir dunia. Itu pun kalau akhir dunia itu ada. Karena ada agama tertentu seperti Hindu dan Buddha yang berpandangan bahwa dunia tak akan berakhir. Karena dalam keyakinan penganutnya, waktu yang kita alami ini adalah waktu siklik, bukan linear.

Okelah, kita lupakan soal perbedaan pandangan itu. Saya hanya ingin bercerita betapa pandangan saya tentang Tuhan berubah. Dahulu, sewaktu mengenal Tuhan pertama kali, saya merasakan Ia sebagai sosok majikan yang menakutkan. Kini, saya lebih melihatnya sebagai “sahabat”. Dan saya merasa pandangan itu selaras dengan hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Nabi Muhammad S.A.W. bersabda tentang firman ALLAH SWT:

Sesungguhnya Aku seperti apa yang dipersangkakan hambaKu, dan Aku bersamanya pada saat dia mengingatKu. Jika dia mengingatKu pada dirinya maka Akupun mengingatnya pada diriKu, dan jika dia mengingat DiriKu pada sebuah kumpulan maka Akupun mengingatnya pada kumpulan yang lebih baik dari mereka”.

Namun, meski begitu, Ia tetaplah Tuhan Yang Maha Tinggi, Maha Kuasa dengan 99 Nama Yang Maha Agung. Ia bukanlah sahabat dalam arti bisa sejajar, namun dekat di hati. Saya pun lantas teringat firman ALLAH SWT dalam Al-Qur’an mulia yang terekam dalam surat Al-Qaff ayat 16:

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

[Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya]

Kedekatan itu makin terasa justru saya merasa jauh darinya. Bak lagu “Tuhan” dari Bimbo yang syairya antara lain berbunyi “Aku jauh, engkau jauh, aku dekat engkau dekat”. Justru saat kita mendekat satu langkah, Tuhan mendekat 1.000 langkah. Justru saat saya menghayati pemahaman Tuhan oleh penganut agama lain, makin kuatlah iman saya pada Tuhan saya sendiri.

Saya makin merasakan kebijakan dan kewaskitaan ala sufi. Makin tinggi ilmu seseorang, makin mengerti ia bahwa ia tak tahu apa-apa. Sebaliknya, makin tak berarti ilmu seseorang, justru ia merasa jumawa mengerti segala hal. Karena kejumawaannya itulah kemudian ia menolak belajar lagi pada orang lain dan tidak menghargai ilmu yang dimiliki orang lain. Ini selaras dengan perkataan Aristoteles yang beberapa kali saya sitir “orang paling bijak adalah orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu, sebaliknya orang paling bodoh adalah yang ia tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.” Dan saya menambahkan, “orang yang lebih pandir dari yang paling bodoh adalah yang tetap tidak mau tahu saat diberitahu bahwa dirinya tidak tahu”. Semoga Tuhan melindungi kita dari kebodohan dan kepandiran itu, antara lain dengan tetap menghargai dan mentoleransi perbedaan pandangan soal Tuhan itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s