Kemarin, terdakwa kasus mafia pajak Gayus Halomoan Tambunan menangis di pengadilan (berita antara lain bisa dibaca di sini). Ia mengatakan sedang stress sehingga perlu refreshing hingga ke Bali.
Luar biasa ya? Seorang tahanan bisa beralasan begitu. Coba saja Anda tanya tahanan mana pun -tentu yang bukan tersangka korupsi yang punya uang banyak-, apakah bisa keluar refreshing sekedar keluar ke halaman penjara misalnya. Di rumah tahanan Salemba-Jakarta Pusat misalnya, kan dekat tuh bila mau refreshing ke Senen atau makan nasi Padang di Kramat. Boleh nggak?
Tentu bila hukum ditegakkan, jawabannya adalah tidak boleh. Namun sepertinya semua “UUD” alias “Ujung-Ujungnya Duit”. Mereka yang punya uang yang berkuasa.
Saya lantas teringat buku yang pernah saya baca, karya Danang Kukuh Wardoyo. Dia adalah staf rumah tangga Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang sempat ditahan dan ditangkap oleh rezim Orde Baru pada tahun 1995. Buku itu berjudul Dari Celah Bui: Tidurlah Akal Sehat (Jakarta: AJI, 1997).
Dalam buku yang semula merupakan semacam catatan harian Danang tersebut dikisahkan mengenai kehidupan di penjara. Danang menuliskan, di penjara memang terdapat kelas-kelas. Kalau mau enak dan nyaman, ya harus membayar kepada penjaga. Bahkan bila mau mengajak istri berhubungan di ruangan kepala penjara saja bisa kok… Astaga!
Danang dan Gayus tentu beda.
Saat Gayus menggunakan jurus “air mata buaya” demi membela diri. Danang yang ditangkap dengan tuduhan tidak jelas hanya karena bekerja di sebuah kantor organisasi yang bertentangan dengan penguasa -bahkan di kemudian hari jaksanya meminta maaf dan menyatakan Danang tidak bersalah-, justru tidak pernah menangis. Baik di penjara maupun saat akhirnya dibebaskan 20 bulan setelah mendekam di beberapa penjara.
Di sini terlihat jelas sekali siapa yang menangis dengan tulus, dan siapa yang menangis sebagai akal bulus. Yah, yang terakhir itulah si Gayus…