Skyline – Resensi Film

Saya menonton film ini dengan harapan akan menyaksikan film science-fiction action-thriller yang menarik. Awalnya -terus terang saja- saya tertarik dengan visualisasi poster filmnya yang  ciamik. Tapi harapan saya salah total. Ternyata saya tak sendirian, banyak kritikus film luar negeri yang juga mengkritiknya. Hal itu saya baca saat mencari pembanding dan data untuk menulis resensi ini.

Alur film ini agak memusingkan. Kalau Anda pernah menonton 28 Days Later atau 28 Weeks Later, film ini mirip seperti itu. Atau lebih mirip lagi dengan Cloverfield, apalagi temanya sama-sama “apocalypse”.

Film ini digarap sutradara debutan, yaitu Colin Strause dan Greg Strause. Ya, mereka berdua adalah Strause Brothers alias kakak-beradik. Meski ini film debut mereka sebagai sutradara, mereka berdua sudah lama berkecimpung di dunia perfilman karena keduanya adalah ahli special effect atau efek khusus handal. Banyak sekali film laris mengandalkan tangan dan otak dingin mereka. Sebutlah seperti Titanic, 2012, Avatar, Iron Man dan yang paling mirip kisahnya dengan film Skyline ini adalah Alien Versus Predator (AVP). Mengandalkan pengalaman terlibat film-film itu ditambah kepiawaian meramu special effect membuat duo bersaudara itu memutuskan terjun ke dunia penyutradaraan.

Cerita diawali dengan sekelompok anak muda yang sedang berpesta. Sepasang kekasih yaitu Jarrod (Eric Balfour) dan Elaine (Scottie Thompson) diundang ke apartemen mewah milik Terry (Donald Faison), sahabat lama mereka yang sudah sukses. Tidak jelas Terry bergerak di bidang apa, tapi dari pembicaraan dan profesi Jarrod yang kelihatannya fotografer, patut diduga Terry bergerak di bidang industri kreatif. (Walau dari review penulis luar negeri saya akhirnya tahu Terry berbisnis di bidang special effect, persis seperti keahlian duo sutradara). Masalah karakter ini adalah salah satu kelemahan film ini yang paling menonjol. Penonton sama sekali tidak diberi kesempatan mendalami karakter, karena memang seolah mereka cuma sebagai narrator tempat cerita lewat saja. Tidak ada alasan jelas mengapa mereka memilih mempertahankan hidup mati-matian, selain karena memang “diharuskan” oleh sang sutradara karena “tuntutan cerita”.

Jalinan kisah sesungguhnya justru terletak pada teror dari langit, yang disebarkan oleh alien yang datang tiba-tiba di tengah malam. Enam pasang manusia yang usai berpesta merayakan ulang tahun Terry terbangun karena ada sinar aneh berwarna biru elektrik di tengah malam. Ditambah lagi adanya gempa ringan saat sinar-sinar itu jatuh ke atas permukaan bumi. Ray (Neil Hopkins) –teman bisnis Terry- yang menemani Denise (Crystal Reed) –asisten Terry- tidur di sofa ruang tamu terhisap masuk ke dalam sinar itu. Jarrod juga hampir mengalami nasib serupa, namun bisa digagalkan Terry yang menabrak dan menariknya ke belakang hingga terjatuh.

Sinar yang datang tengah malam itu ternyata baru awal dari “kiamat”. Karena keesokan paginya satu pasukan besar alien menyerbu Los Angeles dipimpin satu pesawat induk. Dari pesawat induk itu masih keluar banyak pesawat tempur kecil dan robot alien bertentakel. Ini jelas-jelas mengingatkan kita pada robot-robot pasukan mesin di trilogi The Matrix. Pasukan alien itu memukau manusia dengan cahaya biru elektriknya yang menyihir bak cahaya surgawi dari langit. Namun siapa saja yang melihatnya akan terhisap masuk ke dalam pesawat induk. Dilihat dari kejauhan, kejadian itu seperti penggambaran adegan “pengangkatan” yang ditulis di kitab Wahyu dalam Bible. Banyak sekali manusia yang terhisap ke atas, masuk ke dalam pesawat induk. Terry dan Jarrod yang hendak mengecek pun nyaris mengalami nasib serupa.

Kelima orang yang tinggal itu kemudian berdebat hendak melakukan apa. Terry bersikeras hendak pergi ke dermaga karena di sana ia memiliki kapal yacht. Ide ini didukung hampir semua orang kecuali Elaine. Tapi karena kalah suara, mereka kemudian berusaha pergi dengan dua mobil. Di sini ada kejadian drama yang terkesan diselipkan. Drama lain yang juga tampak dipaksakan masuk adalah saat Elaine mengabarkan pada Jarrod bahwa dirinya hamil. Ungkapan kecewa Elaine atas reaksi Jarrod yang menyatakan belum siap, seakan mewakili pula ungkapan penonton atas selipan drama itu. “Just that?” begitu kata Elaine, saya pun berpikir sama.

Drama itu terjadi saat dari foto-foto yang diambil Jarrod dengan kameranya, yang semula dikira cuma ada foto alien dan pesawatnya, ternyata juga ada foto Terry tengah bercumbu dengan Denise dan itu ditemukan Candace (Brittany Daniel). Pacar Terry itu marah dan akibatnya saat hendak pergi, Terry disuruh berdua dengan Denise sementara Candace semobil dengan Jarrod dan Elaine.

Malang, saat hendak keluar dari tempat parkir bawah tanah (basement) apartemen kondominium itu, Ferrari F-40 yang dikendarai Terry diinjak alien. Denise seketika tewas, namun Terry yang masih hidup mencoba melawan dengan menembakkan pistol yang dibawanya. Jarrod berusaha menariknya kembali ke dalam, tapi terlambat karena alien tersebut berhasil memangsa Terry. Mobil GTC yang dikendarai Candace dengan panik berusaha mundur kembali. Saat mereka terancam akan dimangsa alien lain yang datang dari arah dalam gedung, mereka diselamatkan Oliver (David Zayas) sang manajer gedung. Namun seorang wanita tetangga mereka tewas di hadapan keempat orang yang tersisa.

Kisah kemudian berlanjut pada kisah keempat orang tersebut mencoba bertahan. Karena perdebatan terus saja terjadi, apa yang hendak mereka lakukan hingga akhirnya mereka kembali ke griya tawang (penthouse) milik Terry di lantai teratas apartemen kondominium itu. Mengingat rutinitas membosankan yang mereka jalani saat bertahan hidup, adegan di-fast forward dengan apik. Meski begitu, kebosanan yang ditampilkan tidak se-thriller film 28 Weeks Later.

Di hari kedua, terdengar suara gemuruh di langit. Ternyata, Angkatan Udara Amerika Serikat (USAF) melawan balik. Kedua sutradara cukup cermat di sini. Karena setiap manusia yang melihat sinar biru dari pesawat alien itu akan terhisap ke dalam pesawat induk, maka dari puluhan pesawat yang diterbangkan oleh USAF untuk menghadapi alien itu kebanyakan adalah UAV (Unmanned Aerial Vehicle-Pesawat Tak Berawak). Meski kemudian juga tampak dalam pertempuran udara tersebut pesawat berawak seperti pesawat tempur F-22 Raptor dan pesawat pembom B-2 yang digunakan untuk menembakkan rudal (peluru kendali) berhulu ledak nuklir ke arah pesawat induk alien. Adegan ini ciamik digarap, karena jelas merupakan keahlian kedua sutradara. Dog-fight antara pesawat alien dengan pesawat manusianya keren, begitu juga saat pesawat induk terkena hantaman rudal nuklir, hempasan radio aktif di daratan terlihat nyata.

Meski begitu, adegan pasukan US Army yang diturunkan dari helicopter untuk menembaki pesawat alien dan alien bertentakel yang berkeliaran terasa biasa. Jumlah personilnya terasa terlalu sedikit, hanya sekitar 5 orang ditambah beberapa lagi di satu helikopter yang kemudian jatuh. Padahal sebenarnya akan seru kalau ditampilkan “gelar pasukan” kolosal ala film action-fighting seperti trilogi Lord of The Ring. Tampilnya beberapa orang tentara ini sontak mengingatkan saya pada film Cloverfield yang dibintangi Kevin Costner. Senjata yang digunakan pun mirip, yaitu rudal panggul sejenis Stinger. Dengan tambahan di film ini juga tampak digunakan senapan besar berkaliber .50.

Namun kening ini makin berkerenyit saat film memasuki 10 menit terakhir. Saya seperti sedang menonton film anime Jepang saja. Gambaran otak manusia yang diambil dari kepala manusia yang disedot masuk ke pesawat induknya realistis, tubuh manusia sisanya lantas dibuang. Namun yang terasa “kartun” adalah saat otak itu dimasukkan ke kepala makhluk buatan alien yang lantas hidup dan berlari. Adegan ini seperti terinspirasi adegan dalam film Tron. Anehnya, tanpa alasan otak Jarrod bersinar merah, tidak biru seperti lainnya. Dan alien yang dimasuki otak Jarrod masih mengenali Elaine dan malah melindungi wanita itu dan janin yang dikandungnya saat hendak diambil otaknya oleh sang induk alien. Ending film terasa aneh karena Jarrod yang sudah jadi alien berkelahi dengan sesama makhluk buatan alien. Ini mengingatkan pada film District-9 dimana seorang ahli bernama Wikus van de Merwe yang terkontaminasi berubah menjadi alien (baca lagi resensinya di sini).

Satu-satunya yang jadi pengampunan bagi ketidaknyamanan menonton film ini adalah, budget film ini ternyata cukup kecil. Hanya sekitar US$ 10 juta. Bandingkan saja dengan US$ 75 juta punya ID-4 atau US$ 135 juta untuk WotW. Dengan budget sekecil itu, tentu saja kedua orang sutradara yang jago special effect itu mengoptimalkan hal itu dengan mengabaikan beberapa aspek lain seperti script dan pemain bernama besar. Maka, film ini bisa dikategorikan sebagai film indie alias bukan film buatan major label. Dengan begitu, maka segala kebingungan dan kegetiran saat menyaksikan lemahnya aspek-aspek selain special effect menjadi terobati.

Malah, sebagai film indie, tampilan film ini patut diacungi jempol karena menyamai –bahkan di beberapa aspek lebih bagus- dari film-film pendahulunya yang bertema serupa seperti Independence Day 4th of July (ID-4), War of The World atau Cloverfield. Sungguh pun kita sebagai penonton akan dibuat “termehek-mehek” karena banyaknya adegan “comotan” dari berbagai film tersebut.

Kunjungi RESENSI-FILM.com untuk membaca resensi lainnya

(klik nama situs di atas atau klik gambar di bawah ini)

resensi-film header for lifeschool

 

4 responses to “Skyline – Resensi Film

    • F-117 Nighthawk itu hitam dengan bentuk bersegi banyak, sedangkan yang membawa nuklir perak dengan bentuk aerodinamis. Jadi itu adalah B-2 Spirit. Silahkan googling untuk jelasnya.

  1. Ping-balik: Resensi-Review oleh Bhayu MH » Blog Archive » Skyline·

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s