Tak terasa air mata saya menetes saat membaca berita bahwa juru kunci Gunung Merapi yaitu Mbah Maridjan alias Mas Penewu Suraksohargo wafat dalam kondisi bersujud (berita di sini). Wafatnya beliau menambah daftar korban meninggal, termasuk wartawan vivanews Yuniawan Nugroho.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun.
Semoga ALLAH SWT menerima amal-ibadah Mbah Maridjan dan para korban lain. Termasuk pula para korban tsunami di Mentawai dan korban banjir di Wasior.
Terus terang, sebagai muslim, saya iri pada mbah Maridjan. Kenapa iri? Karena insya ALLAH, beliau wafat dalam keadaan syahid. Ini adalah kondisi husnul khotimah paling mulia dalam Islam. Tidak perlu berperang, namun bisa berarti pula gugur dalam mempertahankan akidah dan keyakinan. Dan bagi seorang muslim sejati, mati dalam kondisi seperti itu tentu merupakan sebuah ideal.
Dari pria kelahiran tahun 1927 itu pula kita bisa belajar arti hidup. Kesetiaan, keteguhan, kebersahajaan, hanya beberapa dari teladan yang diberikannya. Untuk kesetiaan, beliau jelas sangat setia pada tugasnya. Padahal, dari segi materi, apa yang didapatnya? Beliau jelas teguh pula dalam mengemban amanat yang diberikan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja Yogyakarta. Beliau bahkan menolak ketika putra Sultan IX -begitu beliau sering disebut- yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X yang juga Gubernur D.I. Yogyakarta memintanya turun gunung pada tahun 2006. Ketika itu, erupsi juga terjadi di Merapi sebagaimana terpantau oleh satelit NASA, hanya saja tidak menimbulkan korban jiwa seperti sekarang. Untuk kebersahajaan, siapa bisa membantah kalau beliau begitu bersahaja? Bahkan setelah menjadi bintang iklan Kuku Bima Ener-G dari Sidomuncul pun beliau tetap tidak berubah. Itulah qona’ah dalam Islam. Insya ALLAH beliau memang termasuk dalam golongan “orang-orang yang beruntung”.
Ada pandangan, Mbah Maridjan bunuh diri dengan tetap berada di rumahnya saat warga sudah diungsikan. Saya tidak sependapat. Kalau begitu para sahabat yang maju menerjang musuh sendirian demi membela cucu Nabi S.A.W. di padang Karbala juga dapat dianggap sebagai tindakan bunuh diri. Bagi saya, logika Mbah Maridjan justru logika pemberani, logika seorang pemimpin atau nakhoda. Kalau Anda pernah menonton film Titanic (1997), yang didasarkan pada kisah nyata tenggelamnya kapal tersebut pada 14 April 1912, Anda akan melihat bahwa sang nakhoda tidak lari menyelamatkan diri dengan sekoci penyelamat. Ia harus merupakan orang terakhir yang keluar dari kapal. Karena justru banyak yang belum terangkut sekoci, maka ia dan para kru tetap bertahan hingga kapal tenggelam. Bahkan grup musik kapal itu terus bermain hingga kapal miring dan menceburkan mereka ke laut.
Begitu juga dengan Mbah Maridjan. Karena merasa tugasnya adalah “menjaga gunung Merapi”, maka ia tidak meninggalkannya meski yang dijaganya itu kemudian membinasakannya dengan awan panas atau lebih dikenal dengan “wedhus gembel”. Itu karena ia tahu masih ada warga desa yang bertahan dan karena itu ia tak mau meninggalkan mereka, juga desa tempat ia merasa “berhutang budi”. Maka, logika ilmiah dari para ahli tidak akan mampu menggoyahkan logika spiritual semacam ini, meski bisa jadi terasa konyol bagi kita yang mengagungkan pragmatisme hidup. Justru kepada keteguhan logika spiritual inilah kita yang merasa lebih pintar dan “orang kota” bisa belajar dari pribadi sederhana dan “wong ndeso” seperti Mbah Maridjan.
Selamat jalan Mbah, semoga kami bisa terus meneladani arti hidupmu. Wa inna insyaa Allahu bikum laahiquuna.
Foto: republika.co.id.
mbah marijan adlh sosok se orang pemberani,
kenang lah dia
Logika adalah manusiawi namun visi hidup Mbah Maridjan bersifat spiritual. ilahiah. Karena itu manusia tak akan dapat memahami “logika” beliau. Seperti pepatah dalam Bahasa Inggris yang berbunyi “To forget is human, To forgive is Divine”.
Salut untuk anda. Tulisan yang sangat “benar”.