Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) kita, ada pasal yang kerap dijuluki pasal karet atau bahasa Belandanya “hatzaai artikelen”. Pasal ini adalah pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik. Disebut pasal karet karena penafsiran terhadap istilah “nama baik” dan “pencemaran” amatlah lentur, seperti karet. Penguasa kolonial Belanda dahulu, sebagai pembuat asli KUHP kita, seringkali memakainya untuk mendakwa orang yang berani mengkritik pemerintah. Demikian pula dengan pemerintah Orde Baru-nya Soeharto. Di masa kini, pasal ini masih juga dipakai. Misalnya dalam kasus Prita Mulyasari yang dituduh mencemarkan nama baik R.S. Omni International Tangerang dan dua orang dokternya. Ini artinya, pasal ini memang sangat multi-tafsir dan bisa digunakan oleh siapa saja yang merasa ‘tercemari’ nama baiknya.
Di dalam Islam, nama baik ini harus dijaga. Baik nama baik kita sendiri maupun nama baik orang lain. Tidak menjaga nama baik berarti membuka aib. Tiap orang, siapa pun dia, hampir pasti memiliki aib. Aib itu berarti cacat, cela atau kekurangan. Bedanya kita dengan para Nabi dan orang suci misalnya, kita bangga dengan aib sementara para “kekasih Tuhan” itu justru amat malu dan menyesal dengannya hingga sudah diampuni Tuhan. Coba tengok bagaimana kasus video porno “mirip artis” yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Bukankah itu aib yang dibuka sendiri oleh pemiliknya sehingga merusak nama baiknya? Memang, ada faktor pencuri dan penyebar data digital. Namun, andaikata data itu sendiri tak ada, maka tak ada pula yang dicuri bukan?
Itu berarti yang bersangkutan sudah melanggar apa yang disabdakan oleh Nabi Muhammad S.A.W. dalam hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim:
”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian di pagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.”
Padahal kita tahu ketiga orang pelaku video “mirip artis” itu beragama Islam. Tentu saja mereka seharusnya taat pada sabda Nabi di atas.
Akhir-akhir ini, kita juga mendengar heboh gosip seorang artis yang bukan saja mengaku pernah diperistri, tapi juga diperkosa oleh seorang da’i kondang. Entah siapa yang benar, namun pengungkapan kasus itu ke depan publik sudah jelas mengungkapkan aib orang lain. Bila itu benar berarti ghibah, bila itu salah berarti fitnah. Keduanya melanggar hukum agama Islam. Apalagi dalam kasus tersebut ada seseorang yang mengatasnamakan ulama dan bermaksud membela sang da’i kondang, namun justru menjadi masalah karena forum yang diatasnamakan merasa tidak memberi mandat pada yang bersangkutan untuk mengungkapkan aib sang artis.
Untuk hal ini, baik sang artis maupun orang yang mengaku ulama dan mengatasnamakan ulama itu, keduanya melanggar hadits Nabi lainnya yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan derajat hasan (Abu Dawud juga meriwayatkan hadits serupa dengan derajat hasan shahih, juga Ahmad dengan redaksi sedikit berbeda):
“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.”
Maksud “mencari-cari aurat” adalah membongkar aib. Dan bila Tuhan sudah membongkar aib kita, siapa lagi yang bisa menutupinya? Karena itulah Majelis Ulama Indonesia mengharamkan infotainment. Sebabnya karena tayangan ini jelas merupakan sarana publikasi ghibah dan bisa jadi fitnah, minimal bisa menyebarkan aib orang lain. Padahal, bagi umat Islam, ALLAH SWT sudah menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat (49) ayat 12 bahwa perumpamaan ghibah atau gosip itu adalah seperti memakan daging mayat:
“Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
Memangnya, siapa yang mau makan mayat manusia? Tapi ternyata, di dunia kita ini, banyak lho yang berperilaku seperti itu. Semoga saja kita tidak termasuk di antaranya. Aamiin.