Buku ini merupakan bagian pertama dari tetralogi “Sisi Lain SBY” karya Wisnu Nugroho. Penulis adalah wartawan harian Kompas yang ditugaskan ‘ngepos’ di Istana pada 2004-2009. Tulisan-tulisan di buku ini semula adalah tulisannya di blog publik Kompasiana. Karena itu, isi dari buku ini sebenarnya adalah kumpulan tulisan yang bersifat ringan. Walau ringan, isinya tidak murahan. Karena justru mengupas sisi lain dari kehidupan di dalam tembok istana yang selama ini tidak diketahui umum.
Saya tertegun misalnya saat membaca penuturan Wisnu tentang kemewahan para pejabat atau orang dekat istana, yang terwakili dari dua hal: kendaraan yang ditumpangi dan sepatu yang dipakai. Khusus untuk kendaraan, Wisnu rupanya punya ketertarikan tersendiri hingga membuat 15 tulisan yang di buku dirangkum menjadi satu bab tersendiri.
Tentu saja Wisnu tak melupakan penjelasan mengapa ia memakai istilah “Pak Beye” dan bukannya “SBY” seperti lazim dipakai. Hal itu terpampang di p. 99-102 dengan judul artikel “Air Putih Bekal Menuju Istana”. Ternyata, istilah itu adalah julukan dari Pak Mayar, petani penggarap di Cikeas Udik yang rumahnya dijadikan tempat deklarasi “koalisi kerakyatan” oleh SBY menjelang Pemilu 2004.
Bagi saya pribadi, yang paling menarik adalah penuturan tentang “Misteri di Istana”. Ada lima tulisan tentang lima orang berbeda. Empat di bab 2 yang diberi judul bab “Orang Penting”, satu di bab 3 berjudul “Orang Yang Terlupakan”. Kelima orang yang diceritakan Wisnu itu berturut-turut adalah Heru Lelono, Marsillam Simanjuntak, Sutanto, Kolonel Azis dan Iswahyudi. Soal Kolonel Azis Ahmadi misalnya, Wisnu menuliskan misteri terletak dari perannya dalam dugaan adanya pemalsuan surat yang ditandatangani Sekertaris Kabinet Sudi Silalahi tahun 2005. Surat itu terkait rencana renovasi gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul, Korea Selatan. Karena ada indikasi ketidakwajaran, Sudi mengatakan surat itu palsu dan yang jadi tertuduh adalah Kolonel Azis. Wisnu dengan cerdik memaparkan apa yang ditangkapnya dari pernyataan Sudi “kepalsuan terletak pada sembilan kejanggalan yang satu pun tidak disebutnya” (p.71). Wisnu pun menutup tulisan soal misteri ini dengan kalimat “Soal duduk perkara dua surat Seskab ini, empat tahun berlalu tetap menjadi misteri.” (p.73).
Tulisan tentang kiprah orang dekat istana ini bagus sekali untuk menunjukkan bagaimana masih terjadi sistem perkoncoan yang akrab. Bila hal itu menyangkut orang dekat istana, maka hal-hal yang tidak wajar tetap dibiarkan menjadi misteri.
Toh buku ini juga memberikan info menyegarkan mengenai kehidupan sehari-hari di istana. Di bab 3 tentang “Orang Yang Terlupakan” Wisnu menuturkan tentang sejumlah orang yang berada di balik layar istana, namun berperan besar bagi kelancaran tugas presiden. Sebutlah juru masak istana bernama Bu Budi (p. 108-111), pemijat istana bernama Pak Apiaw (p. 112-115) atau petugas penggotong podium kepresidenan dan pelantang di atasnya yang dipimpin Iwan (p. 103-107). Kepada orang-orang inilah sejumlah tugas “remeh” tapi krusial disandangkan.
Satu yang kurang dari buku ini, karena awalnya meman g tulisan di blog, adalah kerap terulangnya informasi yang disajikan. Foto mobil Mercedes-Benz presiden yang selain berganti plat nomor dari B 1 ke RI 1 juga berganti ke model lebih baru disajikan sama persis dua kali (p. 25 dan p. 33, dengan satu foto dari angle berbeda di p. 171). Beberapa kalimat juga terasa terulang di beberapa bagian. Itu terasa wajar bila masih dalam bentuk posting-an blog, namun jadi aneh bila sudah jadi buku.
Walau begitu, secara umum buku ini menarik terutama bagi yang menggemari “gosip politik”. Kehidupan istana sebagai simbol sentral kekuasaan selalu menarik untuk dicermati. Termasuk menelisik “story behind the scene” seperti yang dilakukan Wisnu dengan brilyan.