Lucky Luke – Resensi Film

Sebenarnya saya sudah menonton film ini di Blitz Megaplex sejak akhir Mei lalu. Namun entah mengapa, saya malah lupa menuliskan resensinya. Jadi, baru sekaranglah saya menurunkan tulisan ini, walau mungkin filmnya sudah tidak tayang lagi di layar lebar.

Menyaksikan film ini,  mau tak mau didahului pretensi akan menyaksikan tayangan film komedi yang kocak ala komiknya. Sayangnya, agak sulit sebenarnya tertawa di film ini. Pertama, saya agak merasa janggal menyaksikan para koboi era Wild Wild West (WWW) di awal pembentukan negara Amerika Serikat malah berbahasa Prancis! Ya jelas saja, wong ini film buatan Prancis kok. Kedua, film ini membangun setting suasana dan cerita dengan serius. Jadi ini justru kelebihan sekaligus kekurangannya. Ceritanya tergolong mikir karena ditampilkannya tokoh-tokoh yang kita musti menebak-nebak siapakah dia. Suasana WWW yang khas dengan gurunnya malah menghadapkan penonton pada suasana mencekam ala film-film koboi era John Wayne, Clint Eastwood atau Gene Barry.

Ceritanya sendiri cukup rumit, karena mengetengahkan masa kecil Luke, bahkan asal muasal nama Lucky Luke. Satu hal yang saya belum pernah baca di komiknya. Jadi mirip dengan Batman Begins (2005) yang menceritakan masa kecil dan muasal terbentuknya karakter Batman yang jarang diketahui orang. Dari situ kemudian beranjak ke Lucky Luke dewasa sebagai “poor lonesome cowboy” yang berpetualang dari satu kota ke kota lain menegakkan kebenaran. Dan ia tiba di satu kota dimana dengan kecepatan menembaknya yang “lebih cepat dari bayangannya sendiri” berhasil mengatasi kekacauan di kota itu. Ia didaulat sebagai sheriff dan harus menghadapi banyak penjahat yang mengacau. Namun, ternyata Lucky Luke di film ini punya dendam terhadap pembunuh orangtuanya, yang tak dinyana dihadapinya di akhir film. Seorang maniak villain yang punya gedung aneh mirip dengan rumah gila di taman hiburan.

Tapi harapan menonton film komedi toh masih ada. Beberapa kali tawa lepas bisa terjadi saat menonton kekonyolan di beberapa adegan slapstick. Termasuk saat Lucky Luke mau bunuh diri di rel kereta dan dicegah Jolly Jumper yang bicara. Di situ Luke pertama kali tahu kudanya bisa bicara seperti manusia. Menarik pula menyaksikan bagaimana di film ini tokoh-tokoh dalam sejarah WWW -yang memang dibuat parodi oleh Morris (Maurice de Bevere) yang berkolaborasi dengan René Goscinny membuat komik ini- ditampilkan. Sebutlah misalnya Billy The Kid ditampilkan bak anak remaja haus perhatian yang gemar makan permen. Padahal dalam sejarah dialah perampok spesialis kereta api paling ditakuti dan memang masih berusia remaja, makanya disebut “The Kid”.

Jadi, menonton film ini murni hiburan dan bagi saya, sebenarnya agak sayang membuang uang 100-an ribu cuma buat menontonnya. Karena saya merasa “didn’t get something” seusai menonton film ini. Mungkin karena itulah saya sampai telat hampir sebulan cuma buat menulis resensi pendek macam ini.

Kunjungi RESENSI-FILM.com untuk membaca resensi lainnya

(klik nama situs di atas atau klik gambar di bawah ini)

resensi-film header for lifeschool

One response to “Lucky Luke – Resensi Film

  1. Ping-balik: Lucky Luke : Resensi-Review oleh Bhayu MH·

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s