Kita semua tahu, di tengah hiruk-pikuk kecaman kepada Israel yang menyerbu armada kapal kemanusiaan Freedom Flotilla, seorang tokoh besar wafat Rabu (3/6) kemarin, jam 12.25 WIB. Dia adalah Teungku Hasan Muhammad di Tiro atau kita lebih mengenalnya sebagai Hasan Tiro, tokoh Aceh yang pernah menjabat sebagai Wali Nanggroe Acheh. Pasca Perjanjian Damai Helsinki-Finlandia 15 Agustus 2005, Tiro akhirnya pulang ke Aceh pada 2008 setelah sejak 1979 tinggal di Stockholm-Swedia. Wartawan kawakan Linda Christanty membuat tulisan feature apik di FaceBook notes (baca di sini). Dalam tulisan itu ia memaparkan perspektif warga Aceh yang menyayangi sang Tengku begitu rupa, dari yang pernah mengenal langsung dan berjuang di sisinya sampai generasi muda sekarang yang hanya tahu cerita dari mulut ke mulut.
Tiro adalah fenomena. Ia memproklamasikan kemerdekaan Negara Acheh Sumatra lepas dari Indonesia pada 4 Desember 1976. Sejak itu, tanggal 4 Desember selalu diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Gerakan Acheh Merdeka (GAM). Perlawanan bersenjata dilakukan dengan bergerilya di hutan, namun kekuatan Angkatan Gerakan Acheh Merdeka (AGAM) -sayap militer GAM- tak mampu menandingi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sehingga, pada 1979 perlawanan bersenjata terbuka praktis berhenti, namun perlawanan gerilya secara sporadis terus dilakukan. Sadar perjuangan bersenjata memerlukan juga dukungan diplomasi, sejak 1979 Tiro berkeliling ke berbagai negara mencari dukungan. Sementara perlawanan bersenjata tetap dilanjutkan dan diserahkan kepada Panglima AGAM pertama, Daud Husein alias Daud Panek.
Pada tahun 1986, Hasan Tiro berhasil melobby Libya agar memberikan bantuan pelatihan militer bagi anggota AGAM. Maka, dikirimlah secara bertahap pemuda-pemuda Aceh untuk mengikuti pelatihan militer di Maktabah Tajurra, Libya. Selama 1986-1989, diperkirakan sekitar 800 orang anggota AGAM berhasil dididik di Libya. Mereka lantas kembali ke Aceh, meski tidak semua berhasil masuk dengan mulus karena saat itu pemerintah Indonesia menetapkan provinsi itu sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Tampuk pimpinan sebagai Panglima AGAM sempat berganti beberapa kali. Dari mulai Daud Husein, kemudian Tgk Keuchik Umar, Komandan Rasyid, Abdullah Syafii dan terakhir hingga Perjanjian Helsinki adalah Muzzakir Manaf.Nama AGAM sempat diganti menjadi Teuntra Neugara Acheh (TNA) hasil pertemuan petinggi GAM di Stafanger-Norwegia pada 21 Juli 2002. Sebagai realisasi dari Perjanjian Helsinki, TNA harus dibubarkan. Senjata-senjatanya diserahkan dan dihancurkan dalam sebuah upacara resmi di hadapan Aceh Monitoring Mission (AMM) pada 21 Desember 2005 dan TNA secara resmi dibubarkan 6 hari kemudian. Untuk keperluan asimilasi dengan kehidupan sipil, dibentuk Komite Peralihan Aceh (KPA) untuk memfasilitasi mantan anggota TNA yang hendak berbaur kembali dengan masyarakat sipil.
Akan halnya Hasan Tiro, perannya selalu sentral. Tanpa restunya sebagai Wali Negara Acheh, tidak ada perjanjian apa pun yang atas nama GAM bisa ditandatangani. Meski pertemuan Stafanger-Norwegia menetapkannya sebagai pimpinan negara dengan sebutan Wali Nanggroe Pemerintah Neugara Acheh, namun ia menyadari perjuangannya ada batasnya. Perdamaian dan kesejahteraan rakyat lebih utama. Dengan segala kebesaran hatinya, ia menyetujui prakarsa Jusuf Kalla yang difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI) pimpinan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari untuk mengadakan perjanjian damai dan mengakhiri konflik separatis selama 29 tahun. Maka, ditandatanganilah Perjanjian Damai Helsinki. Dan dengan kebesaran hati pula Hasan Tiro ‘melamar kembali’ menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Benar-benar seperti diatur oleh Yang Maha Kuasa, hanya beberapa hari sebelum wafat ia diterima kembali sebagai WNI, dikukuhkan dengan Surat Keputusan Menkum dan HAM nomor M.HH-131-AM.10.01 Tahun 2010 yang ditandatangani Patrialis Akbar pada 27 Mei 2010. Surat tersebut baru diberikan hari Rabu (2/6) oleh Menko Polhukam Joko Suyanto kepada Tgk Fauzi Zainoel Abidin setelah menjenguk Hasan Tiro di Ruang Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA), Banda Aceh. Hanya sehari sebelum Hasan Tiro wafat. Hasan Tiro wafat sebagai WNI.
Selamat jalan Teungku. Semoga ALLAH SWT yang memberikan balasan atas jerih-payahmu memikirkan kesejahteraan rakyat Aceh. Setidaknya engkau sudah merdeka sekarang.