Jalan Kekerasan Ormas Paramiliter

Saat keprihatinan tengah melanda atas terjadinya tragedi kemanusiaan di Palestina, di tanah air Forkabi (Forum Komunikasi Anak Betawi) bentrok dengan massa dari etnis Madura di kawasan Duri Kosambi-Cengkareng-Jakarta Barat pada hari Minggu (30/5) malam. Ini tentu memalukan sekaligus memprihatinkan. Apapun pemicu masalahnya, jalan kekerasan seperti itu bukanlah pilihan. Lebih menyedihkan lagi, di saat bangsa-bangsa lain sudah melangkah maju memikirkan nasib bangsa lain yang tertindas seperti Palestina, kita masih ‘ribut sendiri’ di dalam seperti ini.

Selain disebabkan kondisi di masyarakat lapis bawah yang terdesak secara ekonomi dengan terus naiknya harga-harga, juga persaingan hidup yang keras sehari-harinya, jalan kekerasan tersebut justru disebabkan oleh pengorganisiran massa dalam wadah organisasi massa (ormas). Ini membuat mereka yang tergabung merasa makin kuat ikatan kohesinya, padahal masyarakat Indonesia sendiri memang masyarakat yang komunal dan senang terikat pada kelompok. Ikatan pada kelompok ini membuat mereka yang tergabung di dalamnya rela berbuat dan berkorban nyaris apa saja untuk kelompoknya. Ini membuat kelompok semacam ini mampu bertransformasi menjadi kelompok penekan (pressure group) dalam pranata sosial bahkan kenegaraan.

Kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh para pemimpin ormas untuk menjual massa yang dimilikinya. Hal ini kerap didapati saat sedang “musim Pemilu”, dimana dukungan dari ormas-ormas justru dicari partai politik (parpol) dan kandidatnya. Dan jangan harap dukungan ini gratis, karena seperti saya bilang tadi, para pemimpin ormas itu memang menjual asetnya yaitu massa pengikutnya agar terkesan semuanya kompak mendukung parpol atau kandidat tertentu.

Tentu saja, tidak semua ormas seperti itu. Ada pula yang ‘lurus’ dan benar-benar berbakti pada masyarakat seperti seharusnya. Hanya saja kita semua mengetahui bahwa ada fungsi lain dari ormas yaitu memanfaatkan anggotanya yang kebanyakan memang terdiri dari pekerja informal atau malah pengangguran sebagai aparat keamanan partikelir. Ormas yang berfungsi seperti ini biasanya berbentuk ormas paramiliter. Jumlah aparat keamanan negara yang terbatas membuat banyak kawasan ‘bolong’ dan dikuasai ormas paramiliter ini. Justru inilah yang lebih berbahaya, karena mereka kerap mengedepankan jalan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang dalam menyelesaikan masalah.

Dahulu, dari masa Orde Lama hingga Orde Baru ormas paramiliter seringkali menginduk pada parpol dan menjadi onderbouw parpol. Namun pasca reformasi, ada sejumlah ormas paramiliter baru yang mandiri dan tidak menginduk pada parpol, namun justru berbasis sektarianisme. Maka, seragam yang dikenakan pun berbeda. Bila dulu mereka tampil ‘menakutkan’ dengan seragam loreng mirip aparat militer, kini mereka berganti seragam dengan pakaian khas sektarian. Walau tentu saja tetap ‘menakutkan’.

Maka, hemat saya, agar menciptakan kondisi negara yang lebih adem dan kondusif, seyogyanya pemerintah membubarkan ormas-ormas semacam itu. Yang diberi izin untuk hidup hanya ormas kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, apa saja asal bukan yang berbau paramiliter. Ini wajar, karena keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang secara administratif resmi di bawah Pemerintah Daerah saja sempat dipikirkan ulang pasca bentrok dengan massa di Koja-Tanjung Priok-Jakarta Utara pada 14 April 2010 lalu. Apalagi ormas yang bukan merupakan organ bagian dari aparatur negara kan?

One response to “Jalan Kekerasan Ormas Paramiliter

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s