Mencermati Krisis di Thailand

Setelah kemarin kita mencermati terpilihnya Noynoy di Filipina, hari ini kita menuju Thailand untuk mencermati krisis yang terjadi di negeri “gajah putih” itu. Krisis yang terjadi saat ini sebenarnya adalah imbas digulingkannya Perdana Menteri Thaksin Sinawatra oleh militer melalui kudeta pada tanggal 19 September 2006. Kudeta terjadi menyusul krisis yang terjadi disebabkan Pemilu diboikot partai-partai oposisi sehingga hanya diikuti oleh Thai Rak Tai (TRT), partai pimpinan Thaksin. Ini menyebabkan kursi anggota parlemen sebanyak 500 orang tidak terisi seluruhnya. Padahal, konstitusi negara itu mensyaratkan seluruh kursi parlemen harus terisi untuk mulai bersidang terutama dengan agenda memilih Perdana Menteri. Akibatnya, terjadi kondisi kekosongan kekuasaan, meski Thaksin mengklaim memenangkan Pemilu. Setelah berlarut-larut termasuk sempat digelar Pemilu ulang dan sempat digantikannya Thaksin oleh Wakil Perdana Menteri Chidchai Wanasathi -walau kemudian Thaksin kembali berkuasa-, sebagian anggota militer di bawah pimpinan Jenderal Sonthi Boonyaratkalin melakukan kudeta saat Thaksin sedang berada di New York menghadiri  Sidang Umum PBB.

Kini, para pendukung Thaksin yang sebagian besar adalah masyarakat pedesaan yang diuntungkan dengan banyak kebijakan populis mantan pemilik klub Manchester City itu melakukan ‘serangan balasan’. Mengorganisir diri dalam balutan “Kelompok Kaus Merah”, mereka menuntut Perdana Menteri Thailand saat ini Abhisit Vejjajiva mengundurkan diri, pembubaran parlemen, dan digelar Pemilu segera. Abhisit yang menolak tuntutan ini mengerahkan militer untuk membubarkan demonstran yang datang ke Bangkok dari berbagai penjuru Thailand, terutama dari pedesaan yang berbasis ekonomi pertanian rakyat. Akibat tindakan PM Abhisit tersebut, telah jatuh korban puluhan orang tewas baik di pihak demonstran kaus merah maupun di pihak militer. Walau tentu saja korban lebih banyak di pihak demonstran. Keadaan makin memanas setelah Mayjen Khattiya Sawasdipol yang ditembak sniper saat sedang diwawancarai New York Times pada 13 Mei 2010 akhirnya meninggal dunia pada 16 Mei 2010.

Negara-negara besar seperti A.S.,Inggris, dan Prancis telah menutup kedutaan besarnya dan mengevakuasi warganya dari Thailand. Ini berarti mereka memandang situasi di sana lebih parah dari Indonesia di tahun 1998. Pada saat itu, meski Jakarta terbakar oleh kerusuhan massal pada 13-14 Mei 1998, tidak adanegara yang menutup perwakilannya di sini. Walau ada evakuasi, namun tidak total.

Rasanya kebetulan, kalau krisis Thailand juga terjadi di bulan Mei. Di saat kita tengah mengenang kembali tergulingnya Soeharto 12 tahun lalu melalui proses reformasi “damai” -yang sebetulnya tidak damai-, negara tetangga kita juga tengah diguncang hal serupa. Bedanya, penguasa Thailand memilih bertahan dari tuntutan demonstran dan menggunakan cara kekerasan demi mewujudkan kekuasaannya. Hal itu mungkin juga dipicu oleh sakitnya Raja Bhumibol Adulyadej yang merupakan Kepala Negara. Meski PM di Thailand dipilih melalui Pemilu, tetap diperlukan restu raja untuk naik tahta.

Sebagai gambaran, Thaksin di tahun 2006 yang semula hendak bertahan kemudian memilih mengundurkan diri setelah berkonsultasi dengan Raja pada 4 April 2006. Walau setelah itu ia kembali menjabat PM pada 23 Mei 2006 sebelum akhirnya digulingkan oleh kudeta militer. Peran raja terbukti penting saat negeri itu dilanda krisis seperti tahun 1973 (demonstrasi mahasiswa besar) dan tahun 1992 (demonstrasi anti militer). Kali ini situasinya agak berbeda, dimana kedua belah pihak memaksakan kehendak. Di samping raja yang sakit, Putra Mahkota Pangeran Maha Vajiralongkorn juga dipandang sebagai figur yang tidak sekuat ayahandanya. Kondisi ini apabila raja mangkat, dikuatirkan raja berikutnya akan menjadi “boneka” militer yang tengah menguasai panggung politik Thailand.

Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia dimana pasca reformasi 1998 militer harus mereformasi diri. Meski tidak sepenuhnya “back to barrack”, tapi setidaknya telah terjadi sejumlah perubahan positif. Seperti pemisahan Polri dari TNI dalam wadah ABRI sehingga Polri lebih dikedepankan dalam urusan keamanan dalam negeri sehari-hari. Penarikan diri Fraksi ABRI -kemudian juga Fraksi TNI/Polri- dari MPR-RI yang menandai penarikan diri militer dari dunia politik praktis, penghilangan doktrin “Dwifungsi ABRI” dan tentunya juga penarikan diri militer dari dunia bisnis. Anggota militer aktif juga dilarang menduduki jabatan publik sipil. Sehingga bila ada yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kepala daerah harus memilih untuk bertarung jadi kepala daerah dengan melepaskan status militer aktifnya atau tetap sebagai anggota militer aktif. Dalam hal ini, kita patut berbangga hati karena ternyata militer kita cukup dewasa dengan menetapkan diri tidak lagi menjadi alat kekuasaan.

Dari krisis Thailand kita kembali bisa belajar, bahwa kekuasaan terkuat adalah kekuasaan mereka yang memegang senjata. Semua diktator dalam sejarah panjang peradaban manusia adalah pemimpin militer. Andaikatapun awalnya ia pemimpin sipil, namun pasti memegang kekuasaan atas militer dalam jumlah besar. Sebutlah seperti Julius Caesar dari Romawi atau Ratu Cleopatra dari Mesir adalah pimpinan sipil yang mengendalikan militer yang kuat. Sedangkan nama-nama lain seperti Napoleon Bonaparte atau Hitler jelas pemimpin militer. Dengan begitu, hanya jiwa besar yang mampu mengerem hasrat berkuasa golongan militer pemegang alat pemaksa bernama senjata. Karena niscaya bila militer hendak berkuasa, tak ada golongan lain di masyarakat yang mampu mencegahnya, kecuali dengan membentuk tandingan yang bersenjata lebih kuat dan berjumlah lebih banyak.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s