The Road – Resensi Film

Saya tertarik menyaksikan film ini setelah membaca resensi film The Book of Eli (2010) yang dibuat penulis luar negeri di internet. Steven C. dari moviemuvereviews.com asal Illinois-A.S. misalnya membandingkan film The Book of Eli sebagai kombinasi dari The Road (2009) besutan sutradara John Hillcoat dan Mad Max 2:The Road Warrior (1981) karya sutradara George Miller. Di A.S. dan sebagian besar Eropa, memang film The Road tayang lebih dulu mengingat ini film buatan 2009. Namun di sini, rupanya film ini tayang relatif lebih belakangan dibandingkan The Book of Eli dan di Jakarta hanya ada di jaringan Blitz Megaplex, bukan di studio jaringan 21.

Kalau mau dilakukan “head-to-head comparison”, The Road puluhan kali lebih gelap dan mencekam dibandingkan The Book of Eli (saya sudah meresensinya dua minggu lalu, silahkan baca di sini). Saya yang masih bisa tertawa melihat film horror dan santai menyaksikan film thriller apa pun, terpaksa harus mengakui kegelapan film ini. Sepanjang film, tidak ada harapan akan perbaikan keadaan, sehingga penonton harus terpaku dalam diam dan kengerian.

Sumber pertama rasa ngeri itu adalah dari kesadaran bahwa apa yang digambarkan dalam film ini sangat mungkin terjadi dalam dunia kita sekarang. Seperti berkali-kali saya tulis, tampaknya manusia makin takut akan terjadi kiamat. Selain karena ada persoalan tafsir ramalan terhadap kalender suku Maya yang berakhir pada 20-12-2012, juga karena kekuatiran pada makin parahnya kerusakan lingkungan. Sejumlah buku dituliskan berdasarkan keprihatinan itu, di antaranya The World Without Us (2007) karya Alan Weisman.

Perang nuklir antar dua negara mungkin sulit terjadi pasca runtuhnya Uni Sovyet pada 1991. Tapi posisi sebagai satu-satunya negara adikuasa tampaknya tidak membuat Amerika Serikat puas. Kita tahu bahwa dengan dalih palsu yang dibuat-buat A.S. telah berhasil menginvasi Irak pada 2003. Ini menyusul invasi ke Afghanistan segera setelah tragedi pengeboman Menara WTC pada 11 September 2001. Kini A.S. pun menebar ancaman serupa kepada Iran dan Korea Utara. Seraya bersiap-siap menghadapi China dan Rusia di sisi lain. Dengan demikian, sangat mungkin terjadi peledakan nuklir mengingat saat ini masih ada lebih dari 20.000 hulu ledak nuklir yang aktif dimiliki oleh 9 negara.

Maka, awal kehancuran dunia oleh ledakan nuklir seperti digambarkan film ini sangat mungkin terjadi. Dan kehancuran yang diakibatkannya sangat massif dan luar biasa. Tidak seperti ancaman bio-hazard dalam seri Resident Evil (2002,2004,2007,2008) atau I Am Legend (2007) yang parsial, dimana tidak semua makhluk terkena dampaknya, ledakan nuklir dalam The Road ini menghancurkan segalanya. Tidak hanya manusia dan peradabannya, tapi juga hewan, tumbuhan dan elemen alam lainnya. Tak ada yang mampu bertahan selamat dengan sempurna dari radiasi nuklir. Manusia yang selamat harus berjuang mempertahankan hidup di tengah tiadanya lagi peradaban manusia. Tak ada pula mesin yang mampu bertahan, tidak seperti digambarkan dalam trilogi The Matrix (1999, 2003) dimana mesin digambarkan tak terpengaruh oleh radiasi nuklir.

Faktor kengerian kedua dalam film ini justru pada karakterisasi tokoh protagonisnya. Jalan cerita film nengikuti perjalanan perjuangan hidup bapak dan anak pasca ibunya memilih pergi dari rumah di tengah malam, yang sama artinya dengan bunuh diri. Anak itu sendiri lahir pasca ledakan nuklir, dimana sang ibu semula menolak untuk mempertahankan bayinya di tengah kondisi yang amat sulit. Bapak dan anak ini adalah manusia biasa, tak mampu berkelahi sehebat karakter marinir bernama Eli dalam The Book of Eli, apalagi punya rumah dengan sarana lengkap beserta makanan, generator listrik dan senjata seperti Letnan Kolonel Robert Neville dalam I Am Legend. Mereka berjalan menggelandang melewati rumah-rumah dan kota yang hancur, jembatan yang putus, mobil yang teronggok di jalan-jalan, semata demi mencari apa yang masih bisa dimakan. Kanibalisme merajalela, dan inilah musuh mereka.

Selain tetap bertahan pada harkat kemanusiaannya dengan tidak mau memakan sesama manusia, bapak dan anak ini justru harus menghindar dari kelompok kanibal yang pekerjaannya setiap hari justru berburu manusia yang masih hidup untuk dimangsa. Tidak ada kota yang masih eksis apalagi dengan warlord dan pasukannya seperti dalam The Book of Eli. Seluruh kota yang dilewati bapak dan anak ini hancur. Harapan mereka hanya pergi ke pantai. Saya sendiri bingung dengan tujuan ini, karena air laut yang asin jelas tak bisa diminum. Mungkin mereka berharap menyeberang ke seberang lautan, mencari harapan hidup yang di A.S. saat itu sudah tidak ada.

Sepanjang film warna abu-abu -sebagai gambaran dari abu radiasi nuklir- mendominasi. Namun justru warna ini jadi kelemahan karena pemakaian filternya terasa terlalu kentara. Apalagi saat berada di pantai, jelas sekali terlihat efek filter yang membuat penggambarannya jadi tidak natural. Kelemahan lain adalah terlalu banyaknya terlihat efek matte yang kurang menyatu dengan live movie-nya. Dengan begitu, ada untungnya juga yaitu penonton tetap sadar sedang menonton film.

Perjalanan bapak-anak ini penuh tantangan. Setiap bertemu orang lain yang juga masih hidup justru harus berhati-hati, karena bisa jadi mereka adalah kanibal pemangsa manusia yang bisa membunuh mereka berdua. Kengerian akan kanibalisme ala dwilogi Hostel (2005,2009)-nya Eli Roth atau Wrong Turn (2003,2007)-nya Rob Schmidt-Joe Lynch terasa saat bapak-anak ini menemukan sebuah rumah besar yang ternyata adalah markas kelompok kanibal. Sang bapak menemukan gudang bawah tanah yang ternyata adalah penjara bagi tawanan manusia yang sengaja disimpan dan dibiarkan hidup bak hewan peliharaan yang menunggu disembelih. Tidak seperti karakter hero di film action, tidak ada tindakan untuk menolong para korban itu. Mereka lebih memilih menyelamatkan diri sendiri. Demikian pula saat di pantai seorang gelandangan berkulit hitam mencuri seluruh perlengkapan mereka dari si anak yang tertidur sementara bapaknya sedang berenang ke kapal yang tenggelam di lepas pantai, tindakan si bapak bisa dibilang kejam. Ia berhasil mengejar si gelandangan dan mengancamnya dengan pistol yang tinggal punya satu peluru -satu peluru lain sebelumnya sudah ditembakkan kepada seorang anggota kelompok kanibal di awal film- dan menyuruh si gelandangan melepaskan seluruh pakaiannya hingga telanjang bulat. Tindakan ini sangat realistis dilakukan oleh manusia di masa pasca perang, meski memang kejam. Walau begitu, tindakan ini dinetralisasi dengan permintaan si anak untuk selalu menolong orang lain, termasuk seorang tua yang berpapasan dengan mereka di jalan. Kebetulan, nama orangtua itu Eli.

Sang bapak sendiri akhirnya meninggal dunia di pantai karena sakit. Dan akhir film tidaklah happy ending, walau ada secercah harapan karena si anak bertemu sebuah keluarga lengkap yang juga bertahan hidup dan mengajaknya serta dalam rombongan mereka. Harapan-harapan lain beberapa kali muncul sepanjang film. Termasuk di antaranya saat keduanya menemukan bunker bawah tanah milik seseorang yang telah meninggal, dimana di sana disimpan persediaan pangan kemasan dalam jumlah besar. Mereka sempat tinggal beberapa hari di sana, sebelum kemudian si bapak merasa mereka diikuti dan merasa terancam, untuk kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Tapi tak ada yang lebih lucu -selipan humor adalah sebuah hal yang amat jarang di film ini- saat di sebuah hotel sang bapak menggedor vending machine dan dari dalamnya keluar sekaleng Coca-Cola. Lucu, karena si anak yang  ternyata belum pernah minum minuman bersoda itu bersendawa dan secara ‘vulgar’ bilang “enak” saat ditanya rasanya. Selain itu juga warna merah kaleng Coca-Cola tampak terlalu menonjol di tengah dominasi warna abu-abu di seluruh scene film. Lucu karena ini cara promosi yang terasa agak dipaksakan.

Selain beberapa kelemahan yang telah saya sebutkan di atas, saya memperhatikan kelemahan lain justru pada penggambaran fisik karakter dalam film ini yang tanpa cacat. Tidak mungkin ada manusia yang tidak terpengaruh radiasi, namun di film ini bayi yang baru lahir pasca ledakan nuklir pun sempurna. Sementara lingkungan mereka hancur berantakan. Ini tidak seperti karakter Eli dalam The Book of Eli yang ditunjukkan mengalami luka-luka di tubuhnya. Kelemahan lain film ini adalah pada terlalu vulgarnya misi Evangelisasi dalam film bergenre post-apocalyptic ini. Bahkan dalam The Book of Eli dimana perebutan Bible menjadi jalan cerita utamanya, kata “Bible” tidak pernah terucap dari para tokohnya. Demikian pula kata-kata lain yang dapat berkonotasi pada kekristenan. Sementara di sini, sang bapak dengan jelas mengucapkan “Jesus” dan sempat menginap di gereja yang telah hancur. Sementara di The Book of Eli penonton baru tahu bahwa buku yang diperebutkan adalah Bible menjelang akhir film. Juga ada penyeimbang ditampilkannya Al-Qur’an di deretan rak yang sama dengan Bible tepat di penghujung film. Ini menjadikan misi Evangelis yang seolah menegaskan kebenaran nubuat kiamat versi kitab Wahyu dalam Bible Kristen menjadi lebih samar.

Dengan jalan ceritanya yang suram, saya tidak menyarankan Anda yang benar-benar bukan penikmat dan penggemar film serius ala JIFFEST untuk menonton film ini. Film ini termasuk kategori film berat karena jalan ceritanya yang penuh pemikiran dan perenungan serta suasana suram sepanjang film, nyaris seperti menyaksikan “reality show'” gelap. Namun jangan salah, film ini bermutu karena diangkat dari novel pemenang anugerah Pullitzer -anugerah untuk penulisan tertinggi di Amerika Serikat yang diakui sangat bergengsi oleh penulis seluruh dunia- tahun 2007 untuk kategori fiksi. Novel berjudul sama terbitan tahun 2006 tersebut dikarang oleh Cormac Mc.Carthy. Novel tersebut juga meraih penghargaan lain yaitu James Tait Black Memorial Prize for Fiction pada tahun 2006. Jadi, scriptnya memang bermutu karena diangkat dari novel bermutu.

Hanya saja, saat menonton, perlu banyak camilan dan minuman agar bertahan dalam suasana mencekam tak berkesudahan sepanjang film. Sebagai pembanding, kengerian perjuangan hidup tokoh protagonis dalam film ini serupa dengan karakter Wladyslaw Szpilman dalam The Pianist (2002) karya sutradara Roman Polanski yang memenangkan 3 Oscar. Kesepian, kesendirian, kecurigaan terhadap orang lain menjadi teror bagi sang tokoh. Hanya saja di film ini, kengeriannya berlipat-lipat karena tokohnya tak punya teman dan peradaban tak ada lagi. Sementara Szpilman masih punya penolong yaitu rekan-rekannya sesama Yahudi di gerakan perlawanan anti Nazi-Jerman dan tentu saja ada peradaban yang masih bertahan. Di film ini, putus asa tampaknya menjadi pilihan tepat. Namun justru itu yang dilawan oleh bapak dan anak tersebut, dengan menyalakan “api” di dalam dada mereka untuk bertahan hidup.

Kunjungi RESENSI-FILM.com untuk membaca resensi lainnya

(klik nama situs di atas atau klik gambar di bawah ini)

resensi-film header for lifeschool

14 responses to “The Road – Resensi Film

  1. benar,cukup membosankan dan berat…tp trimakasih resensinya saya suka,lengkap dan tidak nanggung seperti resensi komersial lainnya

  2. lihat film ini sampai banjir air mata iya sih mirip2 book of eli, dan lumayan berat, but basically i like it. resensinya bagus mas.

    • banjir air mata? di bagian mana aja nih? kalo saya malah tercekat sama suasana abu2 muram sepanjang film… lebih horror dari horror

  3. bener lebih mirip horor air mata aja tertahan di mata nggak mau keluar. sangat gelap dan hampir gak ada harapan penggambaranya.

  4. Ping-balik: The Road : Resensi-Review Bhayu·

  5. Ketika kita dihadapkan dengan suatu pilihan : membantu orang lain atau mempertahankan diri? sungguh dilema bagi saya. Ketika sang Bapak menelanjangi orang yang mengambil barang2nya, saya gak tega. tetapi dsisi lain sang bapak ada benarnya. hm. Itulah kehidupan.

    Yang membuat saya sedikit bingung? di ending nya kok keluarga itu mengikuti kedua tokoh utama itu ya????
    2 orang suami istri, 2 anak dan satu anjing. Ingat waktu di dlm bunker, sang bapak merasa terancam karena ada suara seseorang/anjing?
    mengapa mereka mengikutinya?

    • Wah, komentar yang cerdas Bung Dam Hapratta. Betul, kita memang seringkali dihadapkan pada dilema ketika hidup. Dan itu muncul ironis dalam film ini.

  6. Reviewnya keren gan…lanjutkan :D….Dan emang bener bisa dibilang serasa ga lg nonton film wkwk…pas banget nontonnya di tanggal tua :v…

    Bahasa reviewnya juga oke…salut.. The best review until now… wkwk

    Lanjutkan klw kata sby :v

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s