Rusuh Batam, Cermin Persoalan SDM Indonesia

Belum usai duka kita atas rusuh di Koja-Tanjung Priok-Jakarta Utara pekan lalu, kejadian serupa terjadi lagi. Kali ini terjadi di otorita Batam-Kepulauan Riau. Kerusuhan ini sebenarnya skalanya lokal dan internal di sebuah perusahaan, namun terjadi perusakan yang cukup parah. Adalah PT Drydocks World Graha yang berlokasi di  Tanjung Uncang-Batam-Kepulauan Riau lokasi terjadinya kerusuhan ini. Konon dipicu oleh ucapan dari seorang supervisor berkebangsaan asing kepada bawahannya yang orang Indonesia, menyebabkan kemarahan rekan-rekan buruh tersebut. Ucapannya sendiri kurang begitu jelas, namun ada berita yang menyebutkan supervisor elektrik bernama Ganes tersebut mengucapkan kalimat semacam, “semua orang Indonesia bodoh-bodoh” saat memarahi Aditia bawahannya. (berita baca di sini). Tidak terima dimarahi dengan kasar, Aditia menantang atasannya untuk adu fisik. Ia dibantu rekan-rekannya sehingga terjadi pengeroyokan. Kejadian itu meluas hingga terjadi sweeping terhadap pekerja asing terutama asal India di perusahaan tersebut. Tidak puas dengan memukuli Tenaga Kerja Asing (TKA), karyawan pribumi juga merusak fasilitas kantor, termasuk 38 unit kendaraan yang sedang parkir di halaman.

Membaca pemberitaan mengenai persoalan tersebut, saya melihatnya sebagai sebuah cermin persoalan SDM Indonesia. Hal tersebut bisa jadi merupakan akumulasi kekecewaan dari pekerja Indonesia. Kualitas SDM Indonesia memang masih rendah, tapi tidak berarti semua orang Indonesia bodoh bukan? Perlakuan terhadap pekerja asing yang bekerja di negeri ini memang kerap berlebihan, walau tidak semua. Kebanyakan terjadi di bidang industri yang memerlukan produksi di situs perakitan atau manufaktur. Misalnya saja ada perbedaan terhadap ketentuan Upah Minimum Sektoral (UMS) yang seharusnya dibayar Rp 6.800 per jam, tapi dalam praktek ada yang hanya dibayar Rp 1.700 per jam bagi pekerja Indonesia. Sementara untuk pekerja asing asal Vietnam, Thailand, Cina dan India jauh lebih tinggi mencapai Rp 10.000 per jam. Demikian pula dengan fasilitas lain termasuk perumahan dan kendaraan dinas.

Model perekrutan tenaga kerja dengan sistem outsourcing seringkali lebih merugikan pekerja. Ini karena perusahaan pemakai hanya perlu membayar kepada perusahaan penyedia tenaga kerja sesuai gaji pokok saja. Fasilitas lain termasuk berbagai tunjangan tidak perlu dipenuhi. Pekerja hanya diperlakukan sebagai sekrup dari mesin bernama kapitalisme industrial belaka. Peraturan yang ada yaitu Kepmen No 100/2004, Kepmen No 101/2004 dan Kepmen No 220/2004 yang mengatur tentang outsourcing dan perusahaan penyedia outsourcing seringkali masih dianggap kurang mampu melindungi kepentingan tenaga kerja.

Akan tetapi di sisi lain dalam praktek di lapangan kerapkali tingkah laku (attitude) dan kebiasaan (habit) tenaga kerja Indonesia masih sangat jauh dari standar profesionalisme. Klien-klien saya maupun sekedar rekan sering menceritakan pengalamannya tentang hal ini. Bahkan saya sendiri pernah mengalaminya. Misalnya saja saya seringkali mengalami kejadian pegawai yang kabur tanpa pamit dari perusahaan secara mendadak. Bahkan ini terjadi pula pada mereka yang level pendidikannya sarjana! Saya baru saja mewawancarai seorang calon tenaga kerja misalnya, yang dengan seenaknya tidak masuk kerja selama dua bulan di kantor lamanya dengan alasan pribadi, dan dengan enteng saat urusan pribadinya sudah  selesai, ia meminta kembali pekerjaan lama yang ditinggalkannya itu. Wow! Tampaknya, di kalangan pekerja Indonesia urusan pribadi dan keluarga jauh lebih penting dari pekerjaan yang nota bene memberikannya nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya.

Perbedaan cara pandang dari sudut pengusaha dan pekerja inilah yang semestinya dijembatani. Harus ada standar kompetensi  yang berlaku nasional bagi pekerja, dimana dalam praktek bisa saja dibagi sesuai kompetensi daerah tertentu. Namun dengan adanya standar kompetensi, SDM Indonesia akan terpacu dan mau tak mau harus memenuhinya. Sehingga tidak hanya pengusaha yang didesak dengan standar upah, tapi standar kinerja pekerja juga harus dibuatkan aturannya. Termasuk perbandingan beban (load) kerja, tanggung jawab, resiko dibandingkan dengan upah dan fasilitas yang diterima. Dengan begitu akan terjadi win-win solution.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s