Menjelang 2012, yang konon diramalkan oleh suku bangsa Maya sebagai akhir penanggalan bangsa mereka -yang lantas ditafsirkan sebagai kiamat- pembicaraan soal akhir dunia menjadi hangat. Film-film tentang hal ini pun makin ramai menghiasi layar perak. Apalagi, isyu-isyu mengenai kondisi kiwari di dunia seperti kondisi di Irak seperti ditampilkan The Hurt Locker atau isyu lingkungan seperti diusung Avatar sedang sangat disukai penonton. Imbasnya, tentu pemasukan akan meningkat karena daya serap penonton membuat film-film macam ini menjadi box office.
The Book of Eli mencoba menangkap fenomena itu. Ini adalah film yang mengambil setting kondisi dunia pasca terjadinya perang nuklir. Eli -tokoh utama film ini yang diperankan oleh Denzel Washington- adalah mantan Marinir A.S. yang berhasil bertahan hidup. Tidak ada negara pasca perang, karena pemerintahan negara-negara tersebut telah hancur. Yang ada adalah para warlord penguasa kota-kota kecil.
Salah satu warlord itu adalah Carnegie. Ia adalah tokoh penimbun barang yang memiliki sejumlah anak buah bersenjata. Peluru, pada masa itu sudah langka, tapi Carnegie memiliki stok cukup banyak. Ini membuat banyak orang segan kepadanya. Apalagi, Carnegie mampu membaca, satu keahlian yang ternyata sudah jarang dimiliki orang. Dan dengan kemampuannya itu, ia bertekad menjadi “Nabi baru” bagi umat manusia. Ia berkehendak menguasai lebih dari satu kota kecil, tapi seluruh dunia. Untuk itu ia perlu sebuah buku. Dan kebetulan Eli memiliki buku itu. Upaya perebutan buku itu hingga mengakibatkan tembak-menembak antara Eli dan anak buah Carnegie itulah ruh dari film ini.
Sebagai pemanis, ada karakter Solara yang bagi saya tidak dimunculkan pun tidak apa-apa. Namun banyak sekali kalimat yang menyentuh saya dalam film ini. Misalnya saat Solara -yang lahir setelah perang- bertanya pada Eli, bagaimana kondisi dunia sebelum terjadinya perang. Eli menjawab, “orang memiliki lebih daripada yang dia butuhkan.” Betul sekali. Dalam film ini diceritakan dengan ironis betapa banyak barang yang sekarang kita buang-buang, ternyata dianggap begitu berharga seusai perang yang menghancurkan nyaris segalanya. Misalnya sebotol kecil shampoo yang biasanya diberikan sebagai paket saat menginap di hotel, saat itu dianggap barang langka. Juga i-Pod beserta charger listriknya, menjadi barang mewah. Apalagi buku. Dengan miris kita bisa tertawa betapa film ini menunjukkan Da Vinci Code pun menjadi barang berharga yang orang rela saling bunuh demi mendapatkannya.
Sayangnya, buku yang dicari-cari oleh Carnegie itu adalah Bible. Konon, pasca perang semua edisi Bible dibakar karena dianggap sebagai biang terjadinya perang. Buku milik Eli adalah satu-satunya yang tersisa. Itu pun ia mendapatkannya melalui petunjuk mimpi yang mengatakan lokasinya di bawah reruntuhan. Di akhir film Carnegie berhasil merebut Bible itu dengan dramatis, melalui pertarungan tembak-menembak antara anak buahnya yang berjumlah sekitar 10 orang melawan Eli dan Solara yang dibantu pasangan kakek-nenek pemilik rumah yang disambangi keduanya. Bagi penyuka dunia militer seperti saya, adegan tembak-menembak ini seru. Apalagi ada mitraliur putar ala zaman Perang Dunia II yang dikeluarkan anak buah Carnegie, yang kemudian membunuh sang kakek sehingga memaksa Eli dan Solara menyerah.
Eli ditembak di perutnya oleh Carnegie, disertai selarik kalimat kontradiktif dari Carnegie “Lihat, dia cuma manusia biasa” yang kontradiktif dengan komentarnya “Dia bukan pria biasa” saat Eli berhasil membantai anak buah Carnegie di bar miliknya sebelumnya saat Eli pertama kali bertemu Carnegie. Solara yang dibawa pergi karena memang hendak diambil istri oleh Redridge -anak buah Carnegie paling pintar- berhasil melawan dan kembali menyelamatkan Eli. Eli kemudian berhasil mencapai “barat” yang selama ini selalu ditujunya. Ternyata “barat” itu adalah Pulau Alcatraz, dimana manusia beradab terakhir bertahan di penjara benteng itu. Dan di situlah Eli menunaikan tugasnya, mendiktekan Bible King James Version-nya kepada pimpinan di sana. Setelah itu, Eli yang memang telah terluka parah wafat. Dan Bible hasil hafalannya itu dicetak ulang untuk kembali disebarkan. Dimana film kemudian diakhir dengan satu cetakannya bertuliskan “Printed in Alcatraz” diletakkan di bagian rak yang kosong, tepat bersebelahan dengan “The Holy Qur’an” yang telah ada lebih dulu.
Di sinilah saya sempat tertawa, karena justru “tahfidz” atau hafal itulah salah satu ciri khas mukjizat Al-Qur’an yang tak tertandingi sampai kapan pun. Tidak ada satu pun manusia di dunia ini yang mampu menghafal Bible. Karena itu “tahfidz Bible” menjadi sebuah lelucon. Andaikata saya bisa mengomentari langsung pada duo bersaudara Hughes -Albert & Allen- yang menjadi sutradara film ini, saya akan berkata khusus untuk bagian ini: “In your wildest dream”. 😀 Ini menjadikannya ironis eperti film The Day After Tommorow (2004) yang sudah bagus-bagus membangun cerita dan special effect dahsyat, eh, ujung-ujungnya promosi dogmatis evangelis dengan menyelamatkan satu edisi Bible cetakan pertama Guttenberg agar tidak ikut dibakar sebagai penghangat ruangan.
Bagaimanapun, film ini sangat bagus -bahkan luar biasa- dalam hal detail. Kota yang hancur lengkap beserta kendaraan -mobil, pesawat,kapal- yang remuk ditampilkan dengan sempurna. Termasuk pula San Fransisco Golden Bridge yang digambarkan hancur. Suasana mencekam terasa sepanjang film. Demikian pula adegan laganya yang digarap dengan sangat bagus. Kecepatan gerakannya mengingatkan saya pada kepiawaian Neo dalam trilogi The Matrix, sementara ceritanya jelas mengingatkan saya pada I Am Legend (2007) atau trilogi Resident Evil, meski penyebab kehancuran dunianya berbeda.
Ada dua hal yang mengejutkan di akhir film: 1) Eli ternyata memiliki cacat fisik yang sepanjang film berhasil tersembunyi dengan baik. 2) Cacat fisik itu baru diketahui setelah Bible yang berhasil direbut Carnegie dibuka dan diketahui hanya bisa dibaca oleh orang-orang tertentu seperti Eli. Saya sengaja menyimpan bagian ini agar Anda menikmati kejutannya seperti saya. Acungan jempol saya untuk kemampuan sutradara di soal kejutan ini.
So, bagi yang menyukai film action apalagi bergenre post-apocalyptic movie, film ini untuk Anda. Saya sangat merekomendasikannya terutama bila Anda mampu merenungkan, betapa beruntungnya kita yang hidup sekarang. Segala yang dianggap tak berharga, akan sangat mahal harganya di kala darurat apalagi pasca perang nuklir. Semoga saja kengerian seperti digambarkan film ini tak akan pernah terjadi. Aamiin.
Kunjungi RESENSI-FILM.com untuk membaca resensi lainnya
(klik nama situs di atas atau klik gambar di bawah ini)
Ping-balik: The Road: Resensi Film « LifeSchool by Bhayu M.H.·
saya baru nonton film ini tadi mas, yang saya beri garis besar dari film ini adalah…
saya semakin cinta dengan al-Quran, dimana al-Quran itu kekal karena banyaknya hafidz al-Quran sejak zaman Rasulullah hingga kini sehingga terjaga keasliannya, dan di film ini barangkali “menyindir” umat kristiani terhadap kitabnya.
wah, hebat kalau kesimpulannya bisa ke sana… 🙂
Ping-balik: The Road : Resensi-Review Bhayu·
Ping-balik: The Book of Eli : Resensi-Review Bhayu·