Karena aktivitas saya sedang sangat padat, saya tak sempat menonton televisi (TV) beberapa hari terakhir. Walau saat menonton TV pun biasanya juga cuma berita saja. Menyentuh internet pun cuma sebentar saja. Maka, saat membaca harian Kompas edisi hari ini, saya terkejut pada foto dan berita headline-nya. Gempa di Haiti. 7,0 skala Richter yang episentrumnya berada cuma 8 kilometer di darat, 15 kilometer sebelah barat Port-au-Prince, ibukota negara Afrika itu.
Tidak ada bangunan yang tidak hancur. Semua mengalami kerusakan. Bahkan Istana Presiden di tengah alun-alun kota Port-au-Prince bernama Champs de Mars ikut runtuh. Jumlah korban jiwa belum diketahui pasti, namun diperkirakan ribuan melihat banyaknya bangunan yang runtuh dan menimpa penghuninya. Gempa susulan berkekuatan hingga sebesar 5,9 skala Richter sebanyak 27 kali yang terjadi berikutnya terus menambah kehancuran. Cuma dalam 35 detik saat gempa utama terjadi pada pukul 16.53 WIB waktu setempat hari Rabu (13/1) kemarin, ibukota negara termiskin di belahan Barat bumi itu luluh lantak.
Dibandingkan dengan gempa yang terjadi di Indonesia pada 26 Desember 2004 yang kemudian menyebabkan tsunami dahsyat di Aceh, gempa Haiti ini memang lebih kecil dalam skala Richter-nya. Gempa di Samudera Indonesia atau Samudera Hindia sebelah barat daya Aceh itu berkekuatan 9,1 S.R. Sementara gempa Haiti ‘cuma’ 7,0 S.R. Akan tetapi, kerusakan bisa jadi lebih parah karena episentrum atau pusat gempa berada di darat. Terlebih lagi dengan kondisi negara yang miskin, dampak gempa pastinya makin mengenaskan.
Mencermati berita-berita mengenai bencana alam selalu membuat saya tertunduk. Betapa mengerikannya kuasa Tuhan. Peradaban manusia yang dibangun perlahan-lahan dalam waktu lama hancur berantakan dalam sekejap mata saat alam menggelorakan pertanda-Nya.
Sebenarnya, tanda tangan Tuhan sejati di alam ini amat banyak. Hanya saja kerap kita tidak mau membacanya. Bukan tidak mampu, karena kita semua sebagai manusia sudah diberi akal-budi-nurani sebagai perlengkapan hidup. Hanya saja manusia banyak sekali yang enggan menggunakannya.
Karena itu saya mengernyit heran -tapi malas beradu pendapat- saat ada seseorang yang saya temui dalam bisnis berkomentar ringan soal film 2012. Ia mengatakan, film itu sebenarnya bukan film tentang kiamat. “Itu kan cuma gempa bumi saja. Cuma skalanya saja yang besar”. What? Gempa bumi saja? (Perhatikan kata “saja” saya garis bawahi). Apa sih yang tidak “saja” menurut dia? Kalau gempa bumi dia bilang “saja”, apalagi yang digambarkan film 2012, maka mungkin memang butuh kiamat menimpanya. Tapi hanya untuk dia saja, yang begitu meremehkan Tuhan seolah dialah orang paling dekat dengan Tuhan.
Sebenarnya, tiap kali ada bencana, meski itu jauh dari tempat tinggal kita dan tidak berdampak apa pun dalam kehidupan kita, harus dimaknai sebagai peringatan dari Tuhan Sang Penguasa Alam. Peringatan agar kita makin menunduk. Karena setinggi apa pun teknologi, kekayaan, ilmu, budaya atau apa pun yang dibuat manusia, tak akan mampu menandingi kuasa Tuhan.
Foto: LATimes.com
Betul saudara ku .Sadarlah .!
yaa!!!!!! sehharusnya kita sadar!
betul2 betul!!!!
Memang manusia sudah lupa pada kodrat .Akibat memakan makanan tidak halal sehing tanda tangan tuhan tidak dapat di baca .
ya !!!
saya setuju dengan pendapat saudara!
saya beri anda nilai 100