Di waktu-waktu tertentu seperti akhir tahun atau awal tahun termasuk di awal tahun ajaran baru, toko-toko buku kerap menggelar discount. Biasanya, disesuaikan dengan kebutuhan pembeli. Kalau tahun ajaran siswa yang discount adalah buku wajib pelajaran sekolah sementara tahun ajaran mahasiswa tentu buku-buku kuliah. Namun yang paling tidak tentu waktunya adalah buku obral dari jenis populer. Selain dalam forum pameran buku akbar yang biasanya diselenggarakan IKAPI dua kali setahun atau pameran buku yang diadakan penerbit buku tertentu, toko-toko buku juga acap menggelar “buku obral” tanpa waktu tertentu. Biasanya, itu terkait dengan program “cuci gudang” dari penerbit tertentu.

Itulah yang saya dapati sewaktu berkunjung ke salah satu toko buku terkemuka di Jakarta beberapa waktu lalu. Bermula dari hendak membeli sejumlah kebutuhan kantor, saya iseng melihat-lihat rak yang berisi jajaran ‘buku obral’. Saat mengenali judul buku tertentu yang sudah saya punyai, sempat terbersit rasa sesal, kenapa tidak menunggu hingga harganya jatuh sampai ke tingkat obral. Apalagi penurunan harganya signifikan, dari Rp 25.000,00 misalnya, menjadi Rp 5.000,00 saja.

Namun rasa miris itu tak sebanding dengan melihat buku karya seseorang yang saya kenal di dunia nyata ada di jajaran ‘buku obral’ tadi. Miris karena ternyata karya yang dibuat dengan keringat termasuk dalam kategori ‘kurang laku’, sehingga harus rela tertumpuk-tumpuk dan dibanting harganya. Meski bagi pembeli seperti diuntungkan, namun bagi penulis mungkin campur aduk perasaannya melihat karyanya ‘dihargai murah’.

Bagi saya sendiri, yang hingga kini tak jua kunjung menyelesaikan satu buku tunggal pun, rasanya sempat ‘patah arang’ melihat buku karya penulis yang nota bene rekan sendiri jatuh ke tingkat ‘buku obral. Sudah susah-susah menulis, eh, kok ini malah buku kita jadi barang loakan. Padahal, mau selesai menulis saja belum. Halah!

Di Indonesia, bicara soal buku memang mengenaskan. Apalagi di sini industri perbukuan masih dibebani aneka pajak. Akibatnya, harga buku menjadi mahal. Tentu saja eksesnya buku menjadi sulit terjangkau masyarakat. Ironisnya, sebagai karya penulis yang pembuatannya tidak mudah dan memerlukan waktu, pembuatnya yaitu penulis justru mendapatkan bagian paling kecil. Royalti penulis pemula biasanya mentok di persentase 10 %. Sementara penulis kawakan saja belum tentu bisa tembus angka 15 %. Saya malah punya pengalaman ditawari oleh penerbit besar untuk ‘mbayari sendiri’ buku saya yang akan mereka terbitkan. Weleh, sudah capek menulis, bukannya dapat hasil malah nombok, gimana sih?

Tentu saja, dalam soal ini peran pemerintah amat besar. Tapi bukan berarti penulis tak bisa berperan. Sayangnya, gagasan asosiasi penulis kurang bersambut. Yang terbentuk hanya kelompok penulis dan calon penulis, yang kegiatannya terkadang terlalu sempit. Padahal, andaikata posisi penulis bisa naik dan harga buku turun, semua untung. Masyarakat mendapatkan buku dengan harga terjangkau, sementara penulis pun mendapatkan imbalan setimpal atas karyanya yang ditulis dengan susah-payah. Jadi, tidak perlu lagi menunggu ‘buku obral’.