Berita gembira bagi para pendukung Prita Mulyasari. Kemarin, Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas Prita atas tuduhan pidana melakukan pencemaran nama baik RS Omni International Tangerang dan dua orang dokternya. Dengan demikian, dalam perkara pidana, Prita tak terbukti melakukan delik yang diadukan. Meski pihak RS Omni International menyatakan menerima putusan, namun tentu masih ada peluang banding bagi mereka. Sehingga, secara hukum kasus belum selesai. Bagi saya pribadi, kasus yang sebenarnya ‘kecil’ ini telah memakan energi terlalu banyak. Maka, alangkah baiknya pihak RS Omni International tidak lagi memperkarakan Prita dan mengambil langkah damai. Lagipula, eksesnya ternyata buruk karena Prita dijadikan simbol perlawanan kepada “penguasa” atau “pemilik modal”. Hal ini dibuktikan dengan kemenangan perdata RS Omni International di Pengadilan Tinggi Jawa Barat dilawan dengan gerakan “Koin untuk Prita”.
Saat kemenangan Prita bisa diartikan kemenangan simbolis “rakyat melawan penguasa”, hari ini George Junus Aditjondro diadukan ke polisi karena “memukul” Ramadhan Pohan. Meski tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan walau dilakukan oleh seorang “pejuang demokrasi” sekali pun, tindakan itu dilakukan karena provokasi. Seperti diketahui, George adalah penulis buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (baca resensinya dalam postingan di blog ini dua hari terakhir kemarin) dan tadi siang adalah peluncuran bukunya secara resmi di Doekoen Coffee, Jakarta. Meski namanya “launching buku”, tapi hadirin malah tidak mendapat bukunya sama sekali, yang sejak pekan lalu sudah ‘menghilang’ dari pasaran. Konon, karena adanya telepon atau pelarangan tidak resmi dari penguasa. Karena itulah lantas terpancingnya George atas ulah Ramadhan Pohan -anggota DPR dari Partai Demokrat- itu disayangkan, karena bisa membelokkan isyu. Apalagi, apa yang dipermasalahkan Ramadhan bukanlah isi buku George yang kontroversial itu, melainkan pernyataannya di Metro TV. Jadi, memang tampaknya ada upaya agar George terpancing sehingga fokus pembicaraan bukan lagi isi bukunya.
Baik Prita maupun George, semestinya menyadari bahwa dirinya telah menjadi icon perjuangan rakyat. Oleh karena itu, tindakan mereka akan disorot oleh publik melalui media massa. Karena itu, seyogyanya kehati-hatian tetap diperlukan. Tidak hanya di substansi perjuangan, tapi juga di tingkah laku kesehariannya.