Mungkin resensi film ini agak terlambat, mengingat film ini telah beredar sejak awal Desember 2009. Meski pemerintah melalui Lembaga Sensor Film telah melarang pemutaran dan peredaran film ini di Indonesia, copy-nya tetap mudah didapat. KBR 68 H bekerjasama dengan AJI segera memutar film ini di Teater Utan Kayu hanya dua hari setelah dilarang. AJI Jakarta juga ikut menayangkan film ini (baca lagi tulisan saya di sini), pasca pelarangan pemutaran perdana yang rencananya dilakukan oleh Jakarta Foreign Correspondents Club di Blitz Megaplex pada 1 Desember 2009. Pelarangan yang hanya satu jam sebelum ditayangkan sekaligus membatalkan rencana penayangan film itu di ajang Jakarta Internasional Film Festival (JiFFest) yang akan diselenggarakan 4-12 Desember 2009. Namun saya baru saja mendapatkannya bukan dari jalur yang sulit, karena versi DVD bajakannya ternyata beredar luas dan bisa didapatkan dengan mudah di pusat perbelanjaan. Saya saja yang baru sempat jalan-jalan. Dan karena saya pikir akan berguna mengingat film ini resminya dilarang, saya akan tuliskan resensinya di sini.
Well, film ini berlatar belakang peristiwa lepasnya Timor-Timur -saat itu disebut Timor Portugis- dari kolonialisme Portugal. Sebenarnya, Portugal yang mengabaikan tanah jajahannya yang jauh itu. Karena adanya kekosongan kekuasaan (vacuum of power), maka Fretilin sebagai salah satu faksi di Timor -Timur mengumumkan kemerdekaan sepihak, dengan mereka sendiri sebagai pihak yang memimpin. Hanya 9 hari setelahnya, militer Indonesia memutuskan melakukan penyerbuan ke Timor-Timur, yang dianggap sebagai tanah tak bertuan itu. Fretilin yang menolak masuknya pasukan Indonesia lantas mengangkat senjata, melakukan perlawanan secara militer. Film dibuka dengan teks menggambarkan hal itu.
Pendekatan film ini dibuat dengan metode semi-dokumenter, dengan mengambil sudut pandang dari tokoh utama yaitu Roger East. Di adalah wartawan Australian Associated Press (AAP) yang kemudian diminta Jose Ramos Horta untuk menjadi Kepala Kantor Berita Timor-Timur pertama (ETNA=East Timor News Agency). Semula East menolak karena tidak tahu siapa anak muda yang datang ke kantornya. Tapi begitu ia tahu Horta adalah pemimpin gerilyawan Fretilin, ia pun mau menyetujuinya. Lagipula Horta memberikannya informasi bahwa ada lima wartawan Australia yang hilang saat bertugas di Timor-Timur, namun berita itu ditutupi pemerintah Australia. Kelima wartawan itu adalah semuanya dari televisi, yaitu Greg Shackleton (27), Tony Stewart (21) dan Gary Cunningham (27) dari Channel 7 (Seven Network) di Melbourne serta dua orang dari Channel 9 (Nine Network)-Sydney, Brian Peters (29) dan Malcolm Rennie (28). Mereka dikabarkan hilang saat meliput masuknya tentara Indonesia -yang di film ini disebut invasi- ke Timor-Timur melalui kota Balibo. Mendengar itu, naluri jurnalistik East tertantang.
Dengan alur flash-back, film seolah merupakan penuturan salah satu saksi dari 7.824 saksi mata kepada Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) Timor Leste. Walau tentunya saksi perempuan yang muncul di awal dan di akhir film tak mungkin tahu semua hal. Namun keterangan ribuan saksi inilah yang dijadikan titik tolak data oleh Robert Connolly sang sutradara untuk membuat film ini.
Secara umum, format semi dokumenter yang digunakan bisa membuat penonton terkecoh mengira film ini fakta 100 %. Padahal, film ini masih merupakan tafsiran terhadap peristiwa di awal masuknya Timor-Timur sebagai provinsi Indonesia. Dari sudut pandang Fretilin, tindakan tentara Indonesia masuk ke dalam wilayah mereka dianggap sebagai invasi. Dan dengan paradigma inilah penonton disuguhi adegan demi adegan yang membenarkannya sepanjang film.
Penonton disuguhi sosok Jose Ramos Horta muda yang pemberani dan flamboyan. Gaya flamboyan ini juga dipakai pula oleh aparat militer Indonesia yang dimotori RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat-nama awal Kopassus). Bahkan nama sandi “Flamboyan” juga dipakai untuk menamai operasi penyusupan militer Indonesia pada Oktober 1975. Pasukan Indonesia menyamar sebagai turis dengan memakai pakaian biasa, bukan seragam militer saat memasuki wilayah Timor-Timur. Operasi ini adalah pendahuluan menjelang Operasi Seroja yang dimulai dengan penerjunan pasukan payung lintas udara kdi kota Dili pada 7 Desember 1975. Kapal-kapal perang Indonesia juga terlihat dari bekas benteng Portugis di Balibo.
Adegan penyerbuan pasukan Indonesia digambarkan antara lain dengan penembakan dari helikopter kepada Horta dan East. Di sini ada dialog ironis yang kemudian membatalkan niat East untuk pulang ke Australia. Inti dari dialog itu adalah pemerintah Australia justru yang memberitahukan kepada Indonesia tentang keberadaan para wartawan mereka. Juga adanya dukungan dari A.S. dan Inggris berupa penggunaan helikopter A.S. yang dibeli dengan poundsterling Inggris. Adegan yang menggambarkan peristiwa pembunuhan kelima wartawan Australia juga diperlihatkan. Namun yang paling menunjukkan kebrutalan tentara Indonesia adalah adegan di dermaga, di mana terjadi pembantaian terhadap penduduk tak bersenjata. Di sinilah kemudian East juga dihabisi.
Secara umum, film ini mencoba menggambarkan kejadian historis. Pemilihan jenis film yang didominasi warna sepia seolah ingin menegaskan format semi-dokumenter tadi. Lokasi, penggunaan bahasa Tetum dan Indonesia, hingga seragam Fretilin cukup akurat. Hanya saya mempertanyakan detail seragam pasukan Indonesia. Rasanya RPKAD tidak pernah punya seragam bermotif daun seperti digunakan dalam film ini. Lagipula terlihat jelas lambang di baret -yang terlihat ada yang merah, tapi ada juga yang jingga- berbentuk bulat. Lambang RPKAD sejak awal selalu persegi empat bukan? Demikian pula ketiadaan tanda kesatuan dan tanda pangkat di seragam pasukan Indonesia juga sepertinya luput dari perhatian.
Namun detail yang paling jelas tidak sesuai sejarah adalah penggambaran adanya seorang tokoh yang tampak saat kelima wartawan sedang dalam pengejaran dan kemudian dibunuh. Tokoh ini berpakaian safari warna krem terang dan mengenakan topi koboi serta mengisap cerutu. Kedatangannya disambut pasukan Indonesia yang menyamar sebagai turis. Tampaknya tokoh ini dimaksudkan sebagai Kolonel Dading Kalbuadi. Ia adalah komandan operasi militer ini. Namun, menurut catatan sejarah kita, justru ia tidak ada di lokasi saat itu.
Yang agak membingungkan buat saya, darimana versi East yang dijadikan sudut pandang film ini berasal. Mengingat di akhir film East pun tewas ditembak. Harap diingat pula, bahwa film ini sesungguhnya berasal dari novel karya Jill Jollife, Cover Up: The Inside Story of the Balibo Five (2001) yang masuk kategori fiksi tentunya. Walau begitu, Jill Jollife adalah satu dari dua orang jurnalis Australia terakhir yang meninggalkan Dili pada 7-8 Desember 1975, sesaat sebelum kota itu diduduki oleh pasukan Indonesia. Sehingga, novelnya boleh jadi merupakan satu cara penceritaan saja untuk membungkus fakta-fakta yang dimilikinya. Ini membuat saya teringat pada gaya Seno Gumira Adjidarma seperti dituliskannya dalam Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (1997). Buku ini merupakan bagian dari trilogi yang juga menuliskan tentang Timor-Timur [dua lainnya adalah Saksi Mata (1994) dan Jazz, Parfum dan Insiden (1996)]. Bedanya, tulisan Seno bertutur terutama tentang Insiden Santa Cruz, 12 November 1991. Jadi, ada keserupaan pola penulisan fakta dengan model novel. Mengingat hal itu, karena saya belum baca novelnya, saya menduga penuturan Roger East sebagai narator atau pencerita itulah yang dituliskan dalam novel.
Meski saya menyayangkan pelarangan film ini oleh BSF, akan tetapi dari sudut pandang Indonesia harus dipahami film ini memang merugikan. Akan tetapi di sisi lain, sekaligus memberikan informasi yang menjadi pertanyaan besar: benarkah telah terjadi pembantaian di Timor-Timur -yang kini bernama Timor Leste- saat kita memutuskan mengintegrasikannya ke pangkuan Ibu Pertiwi? Bila memang terjadi kesalahan prosedur dan pelanggaran terhadap HAM, maka sudah selayaknya yang terlibat terutama para penanggung-jawabnya diajukan ke pengadilan. Ini tidak akan merugikan Indonesia secara keseluruhan. Seperti halnya Jerman yang justru melangkah maju dengan menghukum para petinggi Nazi yang terlibat kejahatan kemanusiaan saat Perang Dunia II. Jadi, kita mau maju atau membiarkan hal itu tertutupi debu misteri?
Kunjungi RESENSI-FILM.com untuk membaca resensi lainnya
(klik nama situs di atas atau klik gambar di bawah ini)