Etika Pergaulan dalam Bisnis

Bergaul itu gampang-gampang susah. Saya itu termasuk kuper, membatasi teman yang akan saya ajak masuk ke ‘inner circle’ saya. Pendeknya, pilih-pilih teman. Masalahnya, teman -atau yang mengaku teman- terkadang merugikan. Kalau kerugiannya cuma material, walau menyakitkan tapi bisa diganti dengan mencari lagi. Tapi kalau kerugiannya menyangkut ke diri kita, termasuk menyakiti hati, rasanya uang pun tak bisa menyembuhkan.

Hari-hari belakangan ini alhamdulillah saya sedang dipertemukan dengan ‘jodoh’ saya dalam bisnis. Banyak kerjasama baru terbangun dengan rekan-rekan bisnis yang baru. Tidak selalu berupa uang cash, walau tetap saja UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tapi dalam hal positif. Karena di sini duitnya justru datang, bukan keluar seperti UUD biasanya.

Pikiran terbuka dan mencari win-win solution sangat penting di sini. Banyaknya deal bisnis yang saya berhasil gol-kan dengan tangan saya sendiri alhamdulillah membuat saya percaya diri dan yakin bahwa “I’m on the right track”. Tentu saja ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan (ini hafalan dari P4 dulu) tetap saja ada. Terutama dalam mencari teman baru dalam bisnis, bergaul akrab tanpa direndahkan. Ada saja yang mencoba melakukan ATHG tadi dalam berbagai bentuknya.

Bagi saya, ATHG terbesar bukanlah kompetensi saya, melainkan cara kerja dan perspektif orang lain. Saya bukanlah yang terbaik, namun saya tahu batasan. Saya tidak akan mengklaim bisa kalau tidak bisa, dan sebaliknya justru dengan yakin mengatakan bisa kalau memang saya tahu saya bisa. Tapi orang lain kerap memandang berbeda, terutama justru teman-teman yang tidak pernah bertemu di keseharian saya. Padahal, klien (dan dulu juga boss saya sewaktu saya masih bekerja) rata-rata puas dengan cara kerja yang berdasarkan kompetensi saya dan tim.

Bagi saya, bergaul dalam bisnis adalah menjaga hubungan profesional, tidak keluar dari itu. Artinya, teman bisnis bukanlah teman untuk ‘curhat’ atau bergaul sehari-hari. Saya menjaga hubungan dengan teman bisnis tidak masuk ke wilayah privat. Namun bisa saja justru teman non-bisnis saya libatkan dalam bisnis bila memang itu sama-sama menguntungkan, terutama bila sesuai dengan kompetensinya. Saya hampir tidak pernah mengkritik pribadi teman bisnis, walau saya melihat ada kekurangan dalam dirinya. Dan saya juga ingin mereka berbuat serupa kepada saya. Tapi memang sulit untuk yang terakhir ini, karena ada saja orang yang berbuat begitu karena karakaternya memang begitu. Mereka gemar mengkritik tapi tak mau dikritik. Dan mereka masuk ke wilayah pribadi saya.

Untuk yang tipe begini, saya bahkan rela kehilangan potensi proyek yang dibawanya kepada saya. Setelah berkonsultasi dengan partner bisinis saya yang sudah teruji, lebih baik kami lepas saja proyek yang ditawarkannya itu. Selain kami secara tim mengalami pelecehan oleh pihak yang memberi proyek, yang bersangkutan juga tidak membantu banyak malah cenderung menghambat dengan tidak memberikan informasi cukup.

Bergaul dalam bisnis ukurannya adalah “transaksional”, sebuah kata yang pernah diucapkannya untuk menilai saya dalam bergaul. Satu penilaian yang terlalu jauh ke dalam pribadi saya. Padahal, ia tidak pernah melihat sahabat-sahabat saya, mereka yang berada di ‘inner circle’ saya. Bagaimana cara saya memperlakukan mereka sangat jauh dari “transaksional”. Hanya kepada teman bisnis saja saja saya bersikap begitu. Dan tentu kepada mereka yang saya anggap tidak layak diberi lebih dari sebuah transaksi belaka. So, business is business, personal is more personal.

3 responses to “Etika Pergaulan dalam Bisnis

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s