Apa sih kebenaran itu? Hampir semua manusia rela mati demi mempertahankan apa yang dianggapnya benar. Padahal, benar yang benar-benar benar katanya hanya milik Tuhan. Masalahnya, Tuhan siapa yang benar? Apakah Tuhan-nya kaum beragama A atau umat kepercayaan B?
Tentu saja, masing-masing pihak punya argumen kuat tentang kebenaran yang diyakininya. Tidak ada ukuran pasti dalam kebenaran ini. Yang bisa disepakati hanya nilai-nilai universal. Hal ini telah lama jadi polemik dalam filsafat. Dan kalimat “sepakat untuk tidak sepakat” seperti kerap terdengar di dunia politik saat adanya kemuskilan pengambilan keputusan rasanya jadi jalan tengah paling masuk akal.
Masalahnya, apabila tidak ada kebenaran yang benar-benar benar, bagaimana manusia mampu menjalani hidupnya? Manusia pada akhirnya hanya mampu memilih, kebenaran mana yang lebih diyakininya. Walau dibekali akal, akan tetapi kenyataannya dalam soal pilihan manusia lebih banyak yang menggunakan emosinya.
Di sinilah kemudian fakta bermain. Namun, fakta saja akan kosong tanpa pemaknaan. Pemaknaan inilah yang kemudian berpeluang menjadi manipulasi kebenaran baru. Seperti halnya fakta adanya rekaman percakapan antara Anggodo dengan sejumlah orang yang diduga merupakan rekayasa kriminalisasi terhadap KPK, ternyata bisa diberi pemaknaan baru. Pemaknaan itu mulai dari mempertanyakan keaslian rekaman sampai prosedur penyadapan.
Dalam hal ini, masing-masing pihak yang berseteru menjadi pihak yang paling merasa benar pemaknaannya. Walaupun kebenaran tentunya adalah hal relatif, seharusnya ada tolok ukur bersama tentang norma kebenaran itu. Karena itulah kemudian disusun ilmu berdasarkan azas verifikasi. Karl Popper kemudian juga mengusulkan metode lain untuk menguji suatu kebenaran yaitu melalui falsifikasi. Baik verifikasi maupun falsifikasi keduanya tidaklah menghasilkan kebenaran mutlak, melainkan mendapatkan fakta yang paling sedikit kesalahannya.
Karena itu, aneh apabila dalam hidup manusia lantas merasa paling benar di dunia. Akan tetapi tidak aneh bila seseorang yakin pada kebenaran yang dianutnya. Maka, adagium yang dianut mustinya adalah: “Aku yakin pada kebenaran dalam pendapatku, dengan kemungkinan adanya kesalahan di dalamnya. Sementara sebaliknya aku yakin pendapat orang lain tidak benar, namun bisa jadi ada kebenaran di dalamnya.”