Indonesia, Negeri Penuh Singkatan


Apa sih Tupoksi itu? Saya baru tahu kepanjangan Tupoksi saat membaca media massa tentang pernyataan Denny Indrayana, staf khusus Presiden bidang hukum. Istilah “tupoksi” dilontarkan oleh Bonaran Situmeang, pengacara Anggodo Widjojo saat menanggapi pernyataan Denny tentang perlunya Polri menahan Anggodo. Ia menyatakan:

“Ingat, dia (Denny) itu cuma staf khusus presiden, bukan kerjanya menyarankan penahanan terhadap seseorang. Saya heran ama Denny, kok ngomong begitu. Aneh, padahal dia sudah sering di screening sama presiden tentang tupoksinya,” kata Bonaran semalam. [Rakyat Merdeka, Minggu, (1/11), p. 9]

Saya langsung bingung, apa sih “Tupoksi” itu? Untung di paragraf sebelumnya ada penjelasan tentang kepanjangannya. Ternyata, “Tupoksi” itu artinya “Tugas, Pokok, Fungsi Organisasi”.

Yeah, itu baru satu singkatan. Sementara di Indonesia penuh sekali dengan singkatan yang terkadang membuat kita bingung. Sebenarnya, budaya akronim itu mulanya merupakan tradisi dari dunia militer. Hal itu disebabkan banyaknya jabatan atau lembaga yang memiliki nama panjang. Sebutlah misalnya dari TNI AU ada Pangkohanudnas (Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional) yang cukup popular atau Lakesgilut (Lembaga Kesehatan Gigi dan Mulut) yang jarang dikenal publik.

Ternyata kebiasaan menyingkat meluas ke masyarakat. Apalagi zaman Orde Baru ada singkatan yang tak jelas untuk apa disingkat. Salah satunya yang saya ingat yaitu ATBM atau Alat Tenun Bukan Mesin yang bahkan sampai ada lagunya segala yang harus dihafalkan para siswa SD, termasuk saya.

Singkatan seharusnya membuat mudah, sesuai prinsip jembatan keledai yang memang untuk memudahkan menghafal sesuatu yang panjang. Kebanyakan digunakan pelajar, seperti “Mejikuhibiniu” untuk menghafal urutan spektrum warna yang lazim digunakan dalam fisika atau elektro. Tentu banyak yang tahu kalau ini adalah singkatan untuk merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu.

Akan tetapi, pada prakteknya singkatan seringkali justru membuat sulit. Karena banyaknya singkatan baru atau mudahnya dibuat singkatan yang tidak lazim. Saya melihat sekarang banyak muncul kecenderungan asal mengambil huruf dalam suatu kepanjangan yang hendak disingkat agar singkatannya “bunyi”. Misalnya GERAM yang berarti GErakan Rakyat Anti Madat atau GRANAT yang kepanjangannya Gerakan Rakyat Anti NArkoTika. Jadi seperti gaya hidup saja laiknya. Menyingkat suatu kepanjangan lembaga atau istilah dengan akronim yang “harus bunyi”.

Di sini peran Pusat Bahasa yang dulu di masa Orde Baru menjadi lembaga yang cukup berwenang menjadi “pengontrol” dalam per-bahasaan tampaknya sudah melemah. Di luar singkatan, sebenarnya banyak pula penggunaan bahasa yang tidak lazim, atau istilah resminya “tidak baik dan benar”. Sebutlah kalimat larangan “Dilarang becak masuk wilayah DKI Jakarta” yang seharusnya “Becak dilarang masuk wilayah DKI Jakarta. Padahal dulu, DLLAJR (Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya-sekarang Dinas Perhubungan) sampai harus mengganti rambu-rambu “Belok kiri boleh langsung” setelah Pusat Bahasa menyarankan kalimat yang tepat adalah “Belok kiri langsung”.

Barangkali ini salah satu semangat reformasi yang kebablasan. Yaitu semangat tidak mau ada kontrol atau penguasaan dari satu lembaga tunggal. Akibatnya, malah unsur pengawasan atau kontrol untuk hal-hal penting yang sering disepelekan menjadi nisbi. Sulit memang, karena semangat “tidak mau diatur” kemudian malah melahirkan “kekacauan”. Harusnya kita semua introspeksi, dari hal mudah seperti ini saja sudah berantakan, bagaimana hal sulit ya?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s