Kalau kemarin kita membicarakan mengenai minat menjadi menteri dalam kabinet mendatang, kali ini kebalikannya. Yaitu gejala yang ditunjukkan menteri pasca mengetahui ia tidak akan lagi terpilih. Seorang teman di FaceBook menulis status (comment)-nya dengan jenaka: “Ia menjadi murung dan tak banyak bicara semenjak mengetahui tak akan ada lagi telepon baginya dari Cikeas”.
Entah orang yang dibicarakannya itu ada atau tidak, atau status itu semata cuma khayalannya belaka membayangkan reaksi seorang menteri yang tahu dirinya tak bakal terpilih lagi, kondisi seperti yang digambarkan itulah yang menjadi gejala awal dari penyakit kejiwaan yang di Indonesia lazim dikenal sebagai Post Power Syndrome (PPS).
Meski terkesan ilmiah, saat dicari di google, PPS ternyata tidak ditemukan definisinya secara ilmiah. Hanya ada sebuah artikel dalam bahasa Indonesia yang mendefinisikan PPS tanpa rujukan sebagai “gejala yang terjadi di mana penderita hidup dalam bayang-bayang kebesaran masa lalunya (karirnya, kecantikannya, ketampanannya, kecerdasannya, atau hal yang lain), dan seakan-akan tidak bisa memandang realita yang ada saat ini.” Walau begitu, ternyata PPS tidak ada dalam khazanah literature psikologi resmi, tidak ada dalam DSM-IV dan memang ternyata bukanlah symptom atau syndrom psikologis atau kejiwaaan resmi. Sehingga, definisi dari situs tadi tidaklah dapat dijadikan rujukan.
PPS sebenarnya merupakan istilah yang merupakan penyebutan belaka dari gejala-gejala atau symptom psikologis yang umum terjadi pasca seseorang tidak lagi memegang jabatan tertentu. Faktor-faktor lain seperti disebutkan dalam definisi di atas seperti kecantikan, ketampanan dan kecerdasan umumnya tidak terlalu jadi pemicu. Karena pemicu (trigger) paling besar justru pasca tidak lagi memiliki jabatan formal, karena dengan begitu kepercayaan dirinya runtuh. Yang bersangkutan merasa tidak lagi berharga atau tidak merasa dihargai, ia merasa masyarakat tidak membutuhkannya lagi dan membuangnya, tidak mampu lagi bekerja dan perasaan rendah diri lainnya. Dari sini apabila dibiarkan berlarut-larut maka yang bersangkutan akan menjadi depresi.
Sebenarnya peran keluarga dan orang-orang terdekat sangat tinggi dalam hal memulihkan kembali rasa percaya diri yang hilang. Di sini, kedekatan kembali dengan keluarga harus dijadikan sebagai perwujudan rasa syukur. Sebenarnya, PPS justru banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Karena di negara-negara maju, masa pensiun justru ditunggu-tunggu karena dengan begitu seseorang bisa santai tanpa perlu bekerja lagi. Rencana pensiun biasanya sudah disusun matang dengan tabungan memadai sejak muda.
Akan tetapi, di sini tampaknya banyak yang tidak mampu memenuhi rencana pensiunnya dengan baik. Di samping itu, banyak pula yang seharusnya sudah tidak bekerja namun harus tetap bekerja karena masalah ekonomi. Untuk golongan terakhir ini rasanya PPS tidak terjadi. PPS terjadi pada diri seseorang yang memegang jabatan cukup tinggi sewaktu berkarir.
Nah, akan halnya menteri, tentu saja PPS amat mungkin terjadi. Hanya saja, umumnya menteri tentu sudah menyadari bahwa jabatan itu sifatnya temporer, karena merupakan jabatan politis. Ia bahkan bisa diganti sewaktu-waktu oleh Presiden sebagai atasannya. Umumnya, mantan menteri akan kembali ke pekerjaan yang ditinggalkannya sewaktu terpilih sebagai menteri. Akan tetapi, memang ada beberapa orang yang tidak dapat kembali, karena tentu jabatannya itu harus diisi orang lain sewaktu ditinggalkannya. Atau memang pekerjaannya sebagai politikus sehingga mengharapkan jabatan-jabatan publik untuk diisinya. Bila begitu, tentu kembali kepada kegiatan yang berbasis pengabdian pada negara dan masyarakat akan sangat bermanfaat. Ada sejumlah mantan menteri yang menjadi anggota DPR pasca tidak lagi menjabat, bahkan ada yang mau ‘turun jabatan’ jadi walikota. Tentu itu semata pilihan. Oleh karena itu, sedih begitu mengetahui tidak terpilih menjabat lagi sih boleh saja, asal jangan keterusan. Karena kalau depresi, yang menanggung bukan hanya dia seorang, tapi juga keluarganya. Kasihan kan?