Menyesal Tidak Berbuat Baik

Saya terperanjat membaca berita di Kompas.com hari ini. Judulnya “Wanita Indonesia Pertama Pendaki Everest Dirawat Di Rumah Sakit Jiwa” (klik di sini). Kenapa saya terkejut? Karena saya pernah mengenalnya di masa lalu. Adalah Bernarda Rurit, wartawati Tempo yang memperkenalkan saya kepada Clara Sumarwati. Waktu itu, Rurit meminta saya membantu Clara mempersiapkan pendakian kembali ke gunung Everest. Karena seringkali orang tidak percaya pada penuturannya bahwa ia adalah wanita Indonesia pertama (bahkan juga wanita Asia Tenggara pertama) pendaki Everest, Clara memberi saya salinan berbagai surat termasuk dari pemerintah RRC dan Nepal yang menyatakan ia memang pernah mendaki gunung tertinggi di dunia itu.

Meski tertarik, saya tidak bisa merealisasikan ketertarikan saya membantu Clara karena konon menurutnya ia harus izin dulu ke pembinanya, Aburizal Bakrie. Nah, waktu itu Bang Ical baru saja terpilih sebagai Menko Perekonomian (sebelum kemudian dipindah posnya menjadi Menko Kesra pada 2005) dalam Kabinet Indonesia Bersatu-nya SBY-JK. Akibatnya, makin sulit meminta perhatian dari beliau. Akhirnya, karena terlalu lama tidak ada kejelasan, saya pun mundur. Sempat satu kali Clara menelepon saya meminta bantuan pribadi pada saya untuk meminjam uang, tapi saya tidak mengabulkannya karena takut ia menjadi kebiasaan. (tuman, kata orang Jawa).

Namun membaca berita di Kompas, saya jadi sedih, mengapa dulu saya tidak berbuat baik kepadanya. Perasaan macam ini kerap kali juga mengemuka saat tangan saya melambai menolak pengemis atau pengamen tanpa melihat dulu apakah ia memang layak diberi. Kerapkali, saya memang tidak mau memberi uang pada pengemis yang tampaknya profesional atau menjadikan mengemis sebagai pekerjaannya. Saya menyebut mereka sebagai anggota “PBA” atau “Professional Beggar Association”. Tapi kadangkala saya menolak mereka yang memang layak diberi, sehingga tak jarang saya menyesalinya kemudian.

Saya berharap, Senin ini saya menjadi orang yang lebih baik. Saya meninggalkan pesan di kolom komentar Kompas.com, berharap redaksi Kompas bisa memberikan kontak kepada Clara. Saya ingin menebus rasa sesal meski mungkin apa yang akan saya beri tidak sebanding dengan penderitaan Clara.

Karena seperti teroris yang ditolak warga untuk dimakamkan, Clara pun ditolak warganya untuk pulang, cuma karena kuatir dia mengganggu disebabkan penyakit jiwanya. Itu merupakan derita yang dalam. Celakanya, itu dilakukan oleh kita yang mengaku beragama dan waras.

Naudzubillah min dzalik!

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s