Teroris dan Islam

Hari ini terbetik kabar bahwasanya dua orang tersangka teroris disergap Densus 88 di Ciputat. Keduanya adalah Saefuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir. Keduanya ditembak mati dalam penggerebekan di siang hari tersebut.

Berita itu, apalagi liputan dari stasiun televisi seakan menegaskan bahwa Islam itu agamanya teroris. Presenter TV bertanya kepada narasumber yang ditemuinya di lokasi dengan tendensius, mengarahkan agar terkesan Islam memang agamanya para teroris (klik di sini).  Lebih jauh lagi, Islam dan terorisme itu seakan identik. Apakah benar?

Saya jadi teringat suatu masa sewaktu saya berada di ruang kuliah filsafat di Universitas Indonesia. Saat itu baru beberapa hari lewat dari peristiwa 11 September 2001. Di dalam kelas diadakan diskusi mengenai peristiwa itu dan terorisme. Dengan berapi-api, seorang adik kelas yang beragama non-muslim menuding Islam sebagai biang kerok. Luar biasa mudah argumennya, tanpa dasar logis dan fakta memadai. Persis seperti yang dikemukakan A.S. termasuk Presiden George Walker Bush yang menyebut kejadian itu sebagai “crusade” (Perang Salib). Karena berada di dalam kampus, ia beruntung terlindungi kebebasan mimbar akademis. Karena bila berada di forum lain, bisa jadi ia bakal dikeroyok muslim fanatik yang marah.

Kejadian itu mengingatkan saya, bahwa ada luka sejarah yang diturunkan dari generasi ke generasi antar umat beragama, terutama Islam dan Kristen. Mirip dengan ‘indoktrinasi’ yang dilakukan senior STM kepada yuniornya tentang siapa “musuh sekolah kita”, sehingga akan membuat tindakan tawuran menjadi terasionalisasi.

Luka sejarah itu adalah klaim kebenaran. Selama sekitar 6 abad, Kristen menjadi agama paling pesat perkembangannya di muka bumi. Pemeluknya pun paling banyak. Namun ketika Islam datang, keadaan berubah. Apalagi “tanah suci” Kristen dan Yahudi, yaitu Yerusalem kemudian dikuasai penguasa Islam. Maka, dikobarkanlah perang agama demi merebut tanah suci itu, 5 abad setelah kedatangan Islam. Dalam perang agama bertajuk “Perang Salib” itu kemenangan dan kekalahan silih-berganti. Namun, pada akhirnya pihak Islam memenangkan Perang Salib VIII dengan menguasai kota-kota penting termasuk Yerusalem dan Konstantinopel (kini Istanbul). Dendam Perang Salib itulah yang masih menggelora di dada banyak masyarakat barat yang Yudeo-Kristiani.

Tentu, pemaparan satu paragraf tadi adalah penyederhanaan persoalan dan penyingkatan sejarah panjang. Konflik dua agama bisa diurai dari berbagai aspek, dan itu akan jadi pembahasan mata kuliah tersendiri atau buku berjilid-jilid. Apa yang hendak saya tuturkan di sini adalah bahwa tudingan Islam adalah teroris sama saja dengan tuduhan Belanda bahwa pejuang pro-kemerdekaan Indonesia adalah “ekstremis”.

Anda tentu bisa mendebat saya bahwa “War on Terrorism” tidak terkait dengan konflik agama antara Islam-Kristen. Baiklah. Saya cuma minta Anda melihat ke Afghanistan dan Irak, apakah itu bukan konflik agama? Tentu, motif ekonomi melatar-belakangi semua itu, dengan upaya menguasai ladang-ladang minyak. Akan tetapi, motif ekonomi adalah di skala makro. Di skala penguasa. Sementara di skala pelaksana yaitu para prajurit, mereka menganggap diri mereka suci dan melakukan perintah Tuhan untuk membasmi musuh agama mereka. Buktinya? Perusakan berbagai tempat ibadah di kedua negara yang diinvasi sangat menonjol.

Akan halnya di Indonesia, motif untuk memberikan stigma negatif pada Islam pun terasa. Misalnya pada pernyataan seorang pejabat Polri bahwa akibat adanya aksi terorisme ini kegiatan dakwah akan diawasi polisi. Ini berarti Indonesia kembali ke masa konsolidasi Orde Baru, tepatnya sekitar awal dekade 1980-an. Saat itu, terjadi peristiwa Tanjung Priok yang bermula dari khotbah dan berakhir dengan demonstrasi yang kacau sehingga menyebabkan ratusan umat Islam terbunuh. Akibatnya, Orde Baru mencap umat Islam sebagai “makar” dan membatasi gerak para pendakwah.

Jangan sampai kejadian kelam itu terulang lagi. Apalagi jelas para teroris itu cuma segelintir saja dibandingkan sekitar 180 juta umat Islam di Indonesia. Jangan mudah menerakan stigma, apalagi buat rekan-rekan media massa yang mudah membentuk opini publik. Bantulah Indonesia agar aman dan damai, tanpa berita atau perkataan yang memprovokasi.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s