Apa sih enaknya jadi pengusaha?
Kalau kata motivator sih adanya kebebasan. Kebebasan apa? Ya macam-macam, tapi yang paling diagulkan adalah kebebasan finansial dan waktu. Dengan begitu, kita bisa lebih mendedikasikan hidup para orang-orang yang kita cintai. Konon dengan menjadi pengusaha kita bisa lebih punya waktu mengantar anak sekolah misalnya, liburan bersama keluarga, dan hal-hal menyenangkan lainnya.
Cuma, para motivator itu tidak ‘buka kartu’ kalau itu ujungnya. Alias, kalau usaha kita berhasil dan kita menjadi kaya.Kaya berarti bebas secara finansial. Namun kalau baru mulai usaha? Hahaha. Itulah kartu joker yang disimpan para motivator. Saya sebut ‘joker’ karena justru di situ itulah letak lucunya! Jadi pengusaha itu lebih sengsara daripada jadi karyawan, bahkan tingkatan O.B. (Office Boy) sekali pun.
Mohon dicatat, itu kalau kriteria usahanya dimulai dari nol putul dan modal kapital (baca: uang)-nya terbatas. Kalau tidak ya tidak sesengsara itu. Misalnya keluarga Anda sudah punya usaha dan Anda tinggal meneruskan atau memulainya lagi dengan memberi sentuhan baru, tentu tidak sesulit membangun usaha dari ketidaktahuan sama sekali. Ada faktor pengetahuan, pelatihan, jaringan pemasaran, daftar supplier, dan hal-hal lain yang tidak perlu dibangun dari awal sekali. Demikian pula bila kapital besar. Semua hal bisa dibeli.
Sementara bagi saya yang tidak keduanya, perjuangannya jauh lebih sulit [warning! curcol alert! :)] Dan saya tahu, banyak sekali rekan-rekan pengusaha ukm (usaha kapital mini, hehe) yang juga berjuang jatuh-bangun menggerakkan roda usahanya. Saya pernah menuliskan bahwa menjadi pengusaha itu berarti harus ada harga yang berani dibayar, istilah bahasa Inggrisnya “price to pay” (klik di sini). Dan saya pernah pula menulis meski modal tidak cuma kapital, tapi tetap yang utama adalah uang (klik di sini). Money rules! Seorang motivator sekelas Tung Desem Waringin saja kerap menggunakan ungkapan “show me the money” untuk menunjukkan pentingnya uang. Jelas saja, karena itulah kita harus mengetahui langkah-langkah persis membuat usaha, karena motivasi saja tidak cukup (klik di sini). Selain uang dan langkah-langkah pendirian usaha, kita juga harus mampu menjalin hubungan pertemanan atau membuat jaringan kerja (klik di sini).
Meski ada seabrek syarat dan kesulitan, sebenarnya yang lebih perlu untuk dilihat adalah kecocokan karakter seseorang dengan karakter usaha yang akan dijalankannya. Sulit bagi seorang pemalu untuk bisa membuat usaha yang banyak berhubungan dengan orang lain. Kecuali, tentu saja, ia punya uang banyak sehingga bisa menyewa ahli yang menjalankan usahanya sementara ia sendiri ‘ngumpet’ di belakang.
Nah, malam ini, saat sedang makan malam kebetulan saya membaca majalah bertemakan kewirausahaan. Di situ saya membaca teman saya dalam pemberitaan ke majalah itu. Semenjak tahu ‘isi dapur’ majalah semacam itu, terus terang saya tidak langsung percaya segala pemberitaan di dalamnya. Apalagi hampir selalu isinya bombastis. Dan saya sendiri pernah punya teman yang bercerita bahwa usahanya yang baru satu bulan berjalan sudah dimuat di majalah semacam itu. Ternyata, setelah dimuat, pada bulan kedua usahanya itu bangkrut. Nah, saya jadi mempertanyakan kredibilitas majalah tersebut termasuk akurasi beritanya.
Padahal, saya mengenal begitu banyak pengusaha yang jelas sudah bisa dikategorikan sukses tapi malah minim publikasi. Dialah orang yang bertipe ‘rame ing gawe, sepi ing warto”. Tentu, kata “warto” adalah penyesuaian saja dari kata “gawe” sebagai asali peribahasa itu. Di sini, saya jadi sadar bahwa meski publikasi perlu, tapi kerja kita di bidang yang kita geluti usahanya itu lebih penting. Jangan sampai jadi “tong kosong nyaring bunyinya” seperti nasib yang dialami usaha teman saya yang bangkrut tadi. Sudah dipublikasikan dengan bombastis, eh, gedubrak!