Tiap tahun, puasa mendatangi kita. Nyaris seperti rutinitas saja. Padahal, seharusnya bulan Ramadhan ini menjadi bulan “discount” gede-gedean dari ALLAH SWT terhadap dosa-dosa kita. Anda yang sering ke masjid dan mendengar ceramah baik di masjid, majelis taklim atau melalui media pasti sering mendengar ajaran dari Imam Ghazali tentang jenis-jenis puasa. Menurutnya dalam buku Ihya Ulumuddin yang terkenal itu, ada tiga jenis puasa:
- Puasa awam
- Puasa khas
- Puasa khawasul khawas
Kita semua pasti sudah sering mendengar penjelasannya. Kali ini saya tidak mengulang. Cuma menyoroti bahwasanya banyak yang puasanya baru di tingkat awam, yaitu sekedar mendapatkan lapar dan haus belaka, plus barangkali nafsu lain yang terkekang. Sementara pahalanya, kalaupun masih dapat, itu pun cuma sisa. Apa tandanya? Sederhana. Banyak yang saat buka buru-buru menyantap aneka jenis makanan dan minuman. Yang lebih menyedihkan, lalu lintas menjelang berbuka biasanya akan kacau. Mobil dan motor saling salip dan mengebut, buru-buru untuk segera mencapai rumah sebelum berbuka. Kacaunya, banyak yang setelah itu malah tidak shalat maghrib, apalagi tarawih.
Padahal, Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menyatakan, “Mudah bagiku berpuasa di tengah gudang makanan dan minuman, namun sulit di tengah wanita yang mengelilingiku.” Artinya, puasa dalam level lebih tinggi justru bukan lagi soal makanan-minuman yang jadi tantangan, melainkan hawa nafsu dengan aneka jenisnya. Dalam Islam, nafsu tidak sekedar soal seks belaka, melainkan terbagi menjadi empat:
- Nafsu muthma’inah
- Nafsu syataniyah
- Nafsu amarah
- Nafsu lawammah
Hanya nafsu yang pertama saja yang diperbolehkan, sementara ketiga nafsu jenis lainnya harus dikendalikan. Ingat, bukan dihilangkan, sebab itu manusiawi. Hanya dikendalikan agar kita menjadi manusia yang paripurna, dalam Islam disebut sebagai insan kamil. Seks di sini termasuk dalam nafsu lawammah.
Semestinya, kita belajar agar puasa tidak semata menahan lapar dan haus, melainkan meningkat ke tahap selanjutnya. Puasa dalam arti khawasul khawas berarti harus mampu mengejawantahkan nilai-nilai puasa ke dalam hidup sehari-hari. Di sini arti puasa tidak hanya bagi diri sendiri, tapi juga bagi lingkungan sekitarnya. Ia tetap aktif dalam berkegiatan sembari beribadah tanpa terlihat lemas dan “sok pamer” karena puasa.
Saya sendiri merasa ibadah puasa saya mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Entah karena kesibukan, tapi lebih karena kemalasan sebab tiada motivasi. Sama halnya dengan teori motivasi dalam segala tindakan kita dalam kehidupan, motivasi juga diperlukan dalam ibadah. Mereka yang merasa tidak mendapatkan keuntungan dari suatu tindakan tentu tidak akan melakukan tindakan itu lagi. Tindakan penghentian atau pengurangan aktivitas itu bisa temporer, bisa juga untuk seterusnya.
Dalam ibadah pun begitu, termasuk puasa. Dan iman memang bisa naik dan turun seperti roda. Apabila sekarang nyawa saya dicabut, mungkin saya termasuk orang yang merugi. Sebabnya, iman saya sedang berada pada titik yang rendah. Walau begitu, puasa tingkat apa pun kita saat ini, berupayalah memanfaatkan waktu yang “limited” ini dengan sebaik-baiknya. Karena belum tentu kita masih diberi kesempatan melaksanakan ibadah puasa di Ramadhan tahun depan.