Dalam pergaulan kadang-kadang saya heran sendiri mendengar komentar mereka yang terindikasi narsis. Saya sebut terindikasi karena untuk memvonis seseorang narsis sebenarnya perlu diagnosa ahli yaitu psikolog atau psikiater. Mengingat narsis adalah penyakit kejiwaan. Uniknya penyakit kejiwaan adalah penderitanya kerap tidak merasakan dirinya menderita penyakit bersangkutan karena memang gejalanya tidak terlihat seperti penyakit badaniah atau fisik. Namun, ciri seseorang menderita penyakit kejiwaan adalah bila dirinya sendiri dan/atau orang di sekitarnya merasa terganggu akan sikap, perilaku, atau tuturan yang bersangkutan dimana hal itu terjadi rutin dan terus-menerus.
Seorang narsis bukan sekedar menonjolkan diri, tapi menganggap dirinya lebih daripada orang lain melebihi proporsinya di dunia nyata. Misalnya, kalau ia seorang aktris, ia akan menganggap dirinya setara dengan Christine Hakim yang pernah meraih piala Citra beberapa kali itu. Atau kalau perlu sekalian saja dengan Kate Winslet peraih Academy Awards atau Oscar tahun ini. Padahal, sejatinya ia cuma seorang pemain figuran di sinetron tak berkualitas.
Sehingga, bila memiliki prestasi dan sekedar dicantumkan, bukanlah narsis namanya. Itu malah menghargai diri sendiri. Tapi akan jadi narsis kalau ke mana-mana prestasi itu digendong (jadi seperti lagunya Mbah Surip, hehe). Saya sendiri kerap melakukan hal itu saat rasa percaya diri saya jatuh. Tapi saya jadi tersadar biasanya kalau ada orang lain yang melakukan hal yang serupa dengan yang pernah saya lakukan. Misalnya saja saat melihat dua orang rekan saya saling memperkenalkan diri, yang satu menyebutkan dirinya sebagai “Doktor Anu, saya ketua ini, pendiri itu, dan masuk dalam tim ini sebagai enoh”. Sementara satunya dengan santai hanya menyebut namanya, “Mpret”. Thok. Segitu saja. (eh, nama “Mpret” ini terinspirasi dari salah satu karakter dalam buku Supernova III karangan Dewi “Dee” Lestari). Tulisan tentang ini bisa anda baca di sini.
Saya justru sering tersadar betapa kecilnya saya di hadapan orang-orang lain (contohnya dalam tulisan ini), apalagi di hadapan Tuhan. Meski dalam beberapa aspek ada bagian dari diri dan perjalanan hidup saya yang bisa dibanggakan, tapi kenyataannya banyak sekali orang lain yang lebih hebat. Karena itu saya merubah pandangan hidup saya, dari berusaha jadi “orang hebat”, menjadi cukup “orang baik”. Menanggapi tulisan saya di atas, sobat saya Didik Suprianto yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Detik.Com itu berujar, “tapi akan lebih top kalau bisa jadi orang hebat yang baik kan?” Tentu mas Didik, tapi saya kok merasa masih jauh dari kriteria itu ya?
Saya juga seringkali merasa tidak pada tempatnya bila saya menceritakan kehidupan pribadi saya. Karena saya bukanlah seorang selebritis seperti Anang yang baru saja mengikrarkan talak tiga kepada Kris Dayanti. Saya cuma orang biasa dan belum termasyhur, karena itu saya tidak pernah menceritakan hal privat kecuali ada manfaatnya bagi orang lain (baca di sini). Memang, sebagai orang biasa tentu ada pula “curcol” dalam tulisan saya. Akan tetapi saya pikir masih dalam batas kewajaran karena persentasenya sedikit.
Yang saya heran adalah jika ada orang bukan seleb memaksa orang agar jadi penggemarnya. Saya punya satu-dua orang teman semacam itu. Mereka yang jelas bukan siapa-siapa membuat fan page di FaceBook dan mengundang orang lain agar jadi fan-nya. Masalahnya, apa yang musti dikagumi dari orang-orang itu ya? Mereka hanya kagum pada pantulan dirinya di cermin. Mereka kagum pada simulacrum, pada dunia citraan ideal yang hanya ada di benaknya.
Mereka memaksa orang lain untuk mengikuti kesehariannya. Face Book adalah sarana yang amat ideal untuk itu. Juga milis-milis. Orang macam ini selalu berbagi mulai dari putus cinta sampai sandalnya putus. Ada beda antara “minta didengarkan dan diperhatikan” dengan berbagi. Saya selalu menganggap contoh bagus dari anti-narsisme adalah Tukul yang jadi ngetop justru saat berani mentertawakan diri sendiri. Juga Raditya Dika yang pernah menulis blog kambingjantan hingga sempat dibukukan dan difilmkan segala. Dalam tulisannya, Raditya justru menyebut dirinya “pelajar bodoh” dengan menceritakan kekonyolan yang dialaminya sehari-hari. Ini menghibur. Sementara orang yang menceritakan dalam tulisannya di milis-milis bahwasanya tagihan internet dan teleponnya membengkak karena jadi moderator milis tentu sebaliknya. Sudah begitu ia “take action” dengan meminta sumbangan sana-sini. Walah!
Well, kepada teman-teman saya yang macam ini, biasanya saya sudah coba mengingatkan. Tapi hasilnya malah saya dimusuhi. Tapi tetap saja ada yang tega mengajak saya jadi penggemarnya. Jawaban saya? Tentu tidak diungkapkan. Tapi dalam hati saya berkata menggunakan ungkapan yang lazim di barat, “in your wildest dream”.