Narsis (1)

494px-Michelangelo_Caravaggio_065Beberapa hari lalu saya sempat menulis kecenderungan sejumlah rekan saya yang menambahkan nama belakang suami/ayah pada nama istri atau anaknya. Kecenderungan memandang diri terlampau tinggi dan kagum berlebihan pada diri sendiri itulah yang disebut sebagai “Narcissus complex” dalam psikologi. Anda mungkin sudah banyak yang tahu fenomena yang kalau dialihbahasakan ke bahasa Indonesia menjadi “narsis”.

Dalam psikologi, perilaku ini merupakan bagian dari penyakit kejiwaan. Namanya berasal dari nama seorang tokoh dalam mitologi Yunani bernama Narkissos (Νάρκισσος) yang berasal dari daerah Thespiae di Boeotia. Ia muncul dalam berbagai versi, namun pada dasarnya ia diceritakan sebagai seorang yang kasar. Karena hukuman dari dewa, ia lantas jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Ia kerap pergi ke sungai dan bercermin di air seraya mengagumi bayangan wajahnya yang memang tampan. Apalagi ia merupakan putra dewa sungai Cephissus dan peri Liriope. Aktivitasnya yang dilakukan hampir sepanjang waktu itu digambarkan oleh Caravaggio, seorang pelukis Italia dalam lukisan buatan tahun 1597 yang  fotonya menjadi ilustrasi artikel ini.  Karena kekagumannya pada diri sendiri itulah, ia kemudian meninggal terjatuh ke dalam sungai. Konon, karena kejatuhan jasad Narcissus, sungai itu lantas menjadi keruh, menghitam dan bau.

Ada sejumlah ciri penyakit kejiwaan ini yang dalam Diagnostic & Statistical Manual for Mental Disorders (atau biasa disebut DSM) dimasukkan di artikel 301.81. Ini adalah buku pegangan standar psikologi bagi psikolog klinis di seluruh dunia. Diterbitkan oleh American Psychiatric Association dan kini sudah mencapai edisi ke-4 sehingga lazim disebut DSM-IV. Pada dasarnya, definisi penyakit ini adalah pola menetap tentang keagungan diri (dalam fantasi atau perilaku), kebutuhan akan penghormatan, dan kekurangan empati. Dimulai dari masa dewasa awal dan hadir dalam aneka konteks, yang dapat diindikasikan dalam lima (atau lebih) ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Memiliki rasa keagungan diri tentang pentingnya diri sendiri (seperti melebih-lebihkan prestasi dan bakat, mengharapkan untuk dikenali sebagai superior tanpa prestasi yang cukup).
  2. Dikuasai oleh khayalan tentang sukses, kekuasaan, kecemerlangan, kecantikan, atau cinta ideal yang tak terbatas.
  3. Percaya bahwa dia adalah pribadi “khusus” dan unik dan hanya dapat dimengerti oleh, atau seharusnya dihubungkan dengan, orang (atau institusi) berstatus tinggi atau khusus.
  4. Membutuhkan rasa penghormatan berlebihan.
  5. Memiliki kecenderungan untuk memberikan derajat, seperti adanya harapan tidak masuk akal tentang perlakuan khusus untuk dirinya atau tanggapan otomatis dari orang lain tentang harapan-harapannya.
  6. Secara interpersonal eksploitatif, seperti mengambil keuntungan dari orang lain untuk kesuksesannya sendiri.
  7. Kurangnya empati, tidak mau mengakui atau mengenali perasaan dan kebutuhan orang lain.
  8. Seringkali iri pada orang lain atau percaya bahwa orang lainlah yang justru iri padanya.
  9. Menunjukkan perilaku atau sikap arogan dan sombong

Mengapa saya menuliskan soal narsis ini? Karena kita seringkali melabeli orang lain narsis tanpa tahu artinya. Saya sendiri pernah dilabeli narsis oleh seorang yang dulu dekat dengan saya. Karena tahu artinya, saya jadi merasa tersinggung. Padahal, yang bersangkutan sendiri lebih memenuhi kriteria narsis ini. Namun saya menganggap itu justru karena ia tidak tahu kalau dirinya lebih narsis daripada saya. Hehehe. Saya akan membahas mengenai kelanjutan contoh kasus soal narsis ini besok.

One response to “Narsis (1)

  1. Ping-balik: Arogansi vs Kebanggaan « LifeSchool by Bhayu M.H.·

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s