Hari-hari ini, setelah Mbah Surip, orang-orang kembali ramai membicarakan seorang seniman yang bahkan lebih besar lagi yang baru saja berpulang semalam. Dialah W.S. Rendra. Seniman penyair yang terlahir dengan nama Willybrodus Surendra Broto Rendra, namun berganti nama menjadi Wahyu Sulaiman Rendra setelah masuk Islam. Rendra meninggal pada Kamis (6/8/2009) pukul 22.10 WIB di RS Mitra Keluarga Depok.
Jika sejumlah penulis berebut menulis tentang Rendra yang mereka kenal, karena memang pernah berada dalam “lebenswelt” sang “Burung Merak”, saya sebaliknya. Secara pribadi, saya tidak kenal dengan beliau. Maka, saya membuat tulisan berjudul seperti di atas.
Walau tidak mengenal Rendra, saya sempat mengenal anaknya. Dan ini agak O.O.T., karena ini pengalaman yang agak subyektif. Karena menyangkut nama baik orang lain, saya tidak akan menyebutkan namanya. Ceritanya, di waktu lalu saya sempat memiliki seorang kekasih, sebut saja namanya “Anyelir”. Nah, dari kekasih saya inilah saya mendapatkan cerita soal anaknya -sebut saja “Arjuna”- yang sempat naksir dia, tentu sebelum saya “jadian” dengannya. Ceritanya, saat naksir tersebut, dalam proses pe-de-ka-te, Arjuna sempat membikinkan puisi bagi perempuan pujaannya itu. Tapi karena memang ada karakter yang dianggap tidak sesuai, maka Anyelir tidak tergerak oleh Arjuna. Namun Arjuna tak menyerah, dia tetap berupaya menjadikan Anyelir kekasihnya. Maka, di suatu malam, Arjuna menelepon Anyelir dan menyatakan perasaan cintanya. Uniknya di latar belakang suara Arjuna, ada ayah dan ibunya yang menyanyikan lagu-lagu bernuansa romantis. Jadi suara latar untuk pembangun suasana ceritanya. Di situlah saya mengerti betapa Rendra ternyata pribadi yang mencintai keluarganya. Bahkan rela menyanyi saat anaknya “nembak”. Luar biasa!
Saya tambah salut ketika kemudian berkesempatan mengenal Arjuna saat Anyelir sudah menjadi kekasih saya. Ia dengan gentle menganggap saya kakak dan kami malah sempat mengobrol akrab. Bahkan Arjuna rela membantu mengangkati barang-barang ke mobil saya. Ini tentu berkat pendidikan orangtuanya yang egaliter dan terkenal mampu berbaur di berbagai kalangan. Bukankah ada pepatah “air cucuran atap jatuhnya di pelimbahan juga” atau “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” ? Ungkapan itu artinya seorang anak pasti akan mirip orangtuanya. Seorang anak mau tak mau akan terpengaruh oleh hasil didikan orangtuanya. Dan itu adalah sisi positif yang saya lihat dari sosok Rendra, walau tidak secara langsung.
Saya tidak mengenal Rendra secara langsung apalagi secara pribadi. Namun dari apa yang dihasilkannya, kita tahu ia pribadi yang konsisten. Tanpa perlu banyak memujinya, Rendra merupakan sosok yang pasti akan menimbulkan kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia. Tidak hanya itu, sebagai penggiat kemasyarakatan, sudah pasti kiprah Rendra akan sulit ditandingi. Oleh karenanyalah, layak bagi kita menundukkan kepala seraya berharap yang terbaik bagi Rendra di realitas di balik realitas yang sekarang dihadapinya. Semoga puisi-puisinya disetarakan dengan amal ilmu yang senantiasa mengalir tak pernah putus kepadanya. Aamiin.
Oleh: Bhayu M.H., diposting di http://www.lifeschool.wordpress.com