Mbah Surip memang fenomenal dan luar biasa, diakui atau tidak. Beberapa rekan saya yang sehari-harinya berada di dunia non-seni apalagi musik, turut membuat tulisan tentangnya. Contohnya sobat saya Indra Jaya Piliang yang politikus Golkar itu. Ia membuat tulisan berjudul “Selamat Jalan Mbah Surip” dalam note-nya di Face Book. Situs jejaring sosial ini juga digunakan senior saya di dunia jurnalistik mas Gantyo Koespradono untuk membuat note berjudul “Kuburan Kosong Mbah Surip”. Padahal, sehari-hari mungkin mereka tidak terkait langsung dengan “lebenswelt”-nya mbah Surip.
Memang, mudah buat siapa pun untuk merasa terlibat dengan sebuah peristiwa besar. Ini karena besarnya dunia citraan yang telah berhasil dibuat tokoh atau peristiwa tersebut. Sehingga, seolah dengan ikut bersimpati, kita merasa terlibat di dalamnya. Simulacrum menipu semua orang dengan kemampuannya bermimikri sedemikian rupa sehingga kita tidak merasa itu adalah realitas citraan. Kalau Anda pernah menonton trilogi The Matrix, maka manusia tidak sadar bila dunia yang dihuninya bukanlah dunia atau realitas asli.
Demikianlah yang terjadi dengan fenomena Mbah Surip ini. Dari tulisan I.J.P., ia mencoba mencari “sisi lain” dari hidup Mbah Surip. Walau bagi saya, menyematkan atribut “Sufi” bagi Mbah Surip terlalu berlebihan. Seorang sufi adalah manusia yang dalam konsep Islam begitu paripurna dan mampu hidup dalam situasi berbeda dengan orang lain. Paling banter, mbah Surip cuma “zuhud” saja. Tapi atribut “zuhud” pun harusnya hanya bisa disematkan dengan kondisi tertentu. Kondisi mana yang kita sungguh tidak tahu bagaimana dengan hidup Mbah Surip yang misterius itu. Kecil kemungkinan seorang “zuhud” akan mengaku-aku riwayat hidup yang bukan riwayat hidupnya. Maaf saja, Mbah Surip melakukan itu.
Sementara dari tulisan mas Gantyo, kita bisa melihat penilaian dari sudut pandang lebih membumi. Ia memandang Mbah Surip semata sebagai pribadi sederhana yang tidak memiliki ambisi dan mampu mewujudkan talentanya semaksimal mungkin.
Bagi saya, kematian Mbah Surip menyisakan sejumlah pertanyaan. Termasuk bagaimana dengan perhitungan royalti atas RBT-nya. Bukan tidak mungkin sebenarnya “terjadi sesuatu” pada Mbah Surip. Saya tidak mau berprasangka, tapi tampaknya tidak ada kecurigaan ke arah situ. Namun ada indikasi ada sejumlah hak Mbah Surip yang tidak akan diwariskan kepada ahli warisnya, dengan sejumlah alasan.
Bagaimanapun, fenomena Mbah Surip tidak bisa dipungkiri mewakili geliat kaum marginal untuk tampil ke depan. Meski lagu itu sebenarnya lagu tahun 2003, toh baru meledak sekarang setelah dijadikan RBT. Untuk berlangganan RBT cuma butuh Rp 2.500,-, sementara harga kaset sekitar Rp 20.000,-. Selain itu, semangat hidupnya dalam berjuang itulah yang patut diteladani. Selamat jalan, Mbah Surip! Biar Tuhan yang menilaimu. Biarkan kami tertawa mengingatmu dengan menyebarkan cintamu. I Love You Full!