Selera Tidak Dapat Diperdebatkan. Saya jadi ingin menulis soal ini saat membaca pepatah Latin ini jadi judul tulisan Pepih Nugraha di Kompasiana (klik di sini).
Pepatah Latin ini menarik karena seringkali kita menjadi marah dan bermusuhan karena soal selera. Selera kita anggap sebuah kebenaran mutlak yang harus kita perjuangkan. Karena itu, kita mati-matian meyakinkan orang lain tentang selera kita itu. Lebih jauh lagi, kita berubah mengubah orang lain agar mengikuti apa yang kita sukai itu.
Coba kita lihat dulu ciri-cirinya, karena kerapkali kita sulit membedakan selera dengan prinsip hidup. Agama adalah salah satu yang kerap jadi bahan perdebatan. Sebenarnya, agama adalah sekumpulan kode tertulis dan tidak tertulis tentang aturan manusia menghadapi hidup. Artinya, ada fakta di situ. Dan saat ada sekumpulan fakta yang dianut, maka itu menjadi prinsip hidup. Akan tetapi, pemilihan pada fakta mana yang dianggap cocok dan akan diterima sebenarnya sepenuhnya selera.
Apakah kemudian semua pilihan adalah selera?
Dalam filsafat, tentu tidak. Karena di situ ada problema etika dan moralitas. Mengenai pilihan, seringkali kita dihadapkan dalam situasi dimana seolah tidak ada pilihan. Dalam Islam agama saya, Tuhan menganjurkan menggunakan komparasi sederhana: pilih yang manfaatnya paling banyak atau mudharatnya paling sedikit. Di sini, kemudian penggunaan selera akan diminimalisir dengan pengoptimalan parameter. Dengan adanya parameter, maka seringkali pilihan terbaik belum tentu selera kita. Terserah kita apakah kemudiann akan tetap memilihnya atau tidak.
Hanya saja, dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali bersikap pragmatis. Apa yang menguntungkan kita dalam situasi dan kondisi saat itu, maka itulah yang kita pilih. Bila pertimbangannya hanya itu, maka jelas pilihan kita adalah selera kita. Dan inilah yang bila bertalian dengan persoalan “persimpangan hidup”, maka seringkali berujung pada penyesalan.
Biasanya, orang tidak mau repot-repot mendebat kenapa saat makan di restoran Padang Anda memilih rendang dan bukannya ayam. Akan tetapi, pasti semua mau repot meyakinkan kita untuk mengubah pilihan kita pada, sebutlah, capres dalam Pilpres kemarin. Adu argumen yang terjadi kerap bukan pemaparan fakta, tapi penjelasan soal selera. Ya susah. Sama saja sulitnya menerangkan kenapa saya memilih rendang dan bukan ayam. Karena selera terkait emosi, bukan rasio. Maka kemudian muncullah adagium itu: “De Gustibus Non Est Disputandum” – “Selera Tidak Dapat Diperdebatkan”.
(oleh: Bhayu M.H., diposting di http://www.lifeschool.wordpress.com)
Ping-balik: Membincang Selera & Agama « LifeSchool by Bhayu M.H.·
Ping-balik: Selera, Standar, Kesempatan & Kelayakan « LifeSchool by Bhayu M.H.·