Pasca Pilpres usai, reaksi pemilih bermacam-macam. Apalagi mereka yang termasuk pendukung salah satu capres. Meski belum resmi diumumkan, namun berdasar pengalaman hasil quick count biasanya tak jauh beda dengan hasil resmi dari KPU. Makanya, kemarin SBY pun sudah mengucapkan “pidato kemenangan” awal. Tentu saja, pendukung pasangan yang kalah berupaya membuat strategi baru agar kekalahannya bisa diterima atau malah diminimalisir. Protes dilancarkan, bukti adanya ketidakberesan dalam proses penghitungan suara disiapkan, mungkin juga ada jurus lain yang belum dikeluarkan. Hanya saja saya berharap, semoga kekisruhan seperti di Iran tidak terjadi. Karena kita percaya, sekali lagi, bangsa ini terlalu besar untuk dikorbankan bagi kepentingan para elite politik semata.
Bagi saya, meski masuk sebagai tim sukses capres yang di luar dugaan kalah dengan selisih banyak, saya sendiri tidak terlalu sedih. Malah, dengan gembira menggunakan hak pilih saya. Walau belum tentu juga saya mencontreng capres dimana saya menjadi tim suksesnya. Karena saya diminta membantu atas dasar keahlian saya dan bukan karena afiliasi politik saya. Dulu, di tahun 2004, saya pun dengan bebasnya menggunakan hak pilih itu walau juga bergabung sebagai tim sukses salah satu capres yang lain.
Kegembiraan itu tetap sama ketika tadi pagi saya melihat para bakul sayur tetap santai mempersiapkan dagangannya. Supir angkot memanaskan mobilnya. Pegawai berangkat ke kantor seperti biasa. Seolah mereka tak peduli akan dipimpin oleh siapa bangsa ini 5 tahun ke depan. Atau malah terlalu percaya hidup akan (atau harus) terus berjalan seperti biasa?
Apakah mereka golput? Saya tidak tahu. Memang menurut data sementara, jumlah golput bahkan mengalahkan gabungan suara pemilih pasangan Mega-Prabowo ditambah JK-Wiranto sekaligus. Menurut artikel di Tempo Interaktif, KPU menyatakan paling tidak terhitung 49.677.076 orang yang masuk Daftar Pemilih Tetap tidak menggunakan hak pilihnya. Secara mudah, mereka disebut golput. Walau istilah ini agak salah kaprah karena di masa Orde Baru gerakan ini dimulai Arief Budiman dkk. di tahun 1971 sebagai bentuk perlawanan kepada rezim. Golput menjadi “OPP” keempat disamping ketiga OPP (Organisasi Peserta Pemilu) resmi. Yang pasti, saya tidak golput lho. Lihat saja foto narciss saya di atas. Hehehe.
Satu yang jelas, saya masih optimis: harapan itu masih ada. Bangsa bernama Indonesia ini masih tegak berdiri. Walau ancaman “Balkanisasi” masih di depan pintu, saya percaya dengan niat baik dan kerja keras kita semua Indonesia akan makin jaya.
Life Must Goes On, demikian pula dengan keberlangsungan bangsa kita. Jangan sampai perbedaan pandangan menghancurkan sendi-sendi kebersamaan kita. Semoga!
(oleh: Bhayu M.H., diposting di: http://www.lifeschool.wordpress.com)
Foto oleh: Yoice
elite politik mestinya berterima kasih kepada rakyat yg telah mensukseskan pesta demokrasi kemarin. kini saatnya bersama2 membangun negeri untuk membuat rakyat sejahtera
Setuju Guskar, yok kita ramai2 bangun negeri ini dgn mempersembahkan karya terbaik kita 🙂