Urusan Dukung-Mendukung, Pusiiing!

Sebagai sekrup imut dari sebuah mesin raksasa bernama Tim Kampanye Nasional salah satu capres-cawapres, sebenarnya saya tidak perlu repot-repot bekerja. Wong saya cuma ditugasi ‘jaga rumah’ thok kok. Yah, batur (bahasa Jawa: pembantu) gitu lho. Tapi, sebagai pembantu, kalau ada tamu datang ya terpaksa saya yang melayani.

Kalau cuma tanya apa majikan ada dan saya bisa bilang tidak ada, atau mau titip pesan maupun barang dan saya bilang akan disampaikan, itu mah gampang. Yang susah kan itu tamu musti diajak ngobrol, dan seringnya ya musti dikasih minum. Malah, repotnya banyak yang minta makan plus numpang mandi. Dan… ini yang khas Indonesia, pulangnya minta disangoni (bahasa Jawa lagi: dibekali) uang untuk pulang. Halah!

Hal macam ini tidak sekali-dua saya hadapi. Dilemanya, hampir semua tamu yang datang terlihat santun dan menyatakan dukungan kepada majikan saya: capres dan cawapres. Masalahnya, hampir selalu dukungan itu UUD: Ujung-Ujungnya Duit.

Jangan salah, tidak semua anggota Tim Sukses bergelimang uang dari proyek yang ada. Malah, banyak yang dengan ikhlas menyumbangkan apa yang dimilikinya. Misalnya ada yang meminjamkan rumah, peralatan kantor, mobil, tim kerja, sampai menyumbang uang sekalipun. Sehingga, bukannya untung malah nombok. Saya salah satunya, walau unsur ikhlasnya jelas tidak. (hehe, ‘curhat colongan’).

Tapi, justru orang luar Timses yang mengira begitu. Maka, apa pun posisinya, asal ketahuan kita terlibat dalam Timses, biasanya ada yang mendekati untuk proyek sesaat ini. Repotnya, sebagai Timses kan tugasnya persuasif agar makin banyak yang memilih pasangan capres yang dibela. Sehingga, bila ada orang yang minta proyek, kita jadi takut kehilangan dukungan dari yang bersangkutan bila permintaannya tidak dikabulkan. Bahkan, memang ada yang terang-terangan mengancam menarik dukungan kalau keinginannya tidak dipenuhi.

Baru kemarin misalnya, ada sekelompok orang mendatangi sekertariat dan terpaksa saya temui. Intinya, mereka minta bantuan keuangan untuk melunasi tunggakan konsumsi acara gerak jalan yang diadakan hari Minggu lalu. Memang, salah seorang petinggi Timses kami sempat menyatakan akan hadir, tapi ternyata batal. Dan lucunya, acara itu diadakan atas inisiatif mereka dan bukan bagian dari kampanye, tapi meminta dana ke kami. Bagi yang sudah sering terlibat dengan pemerintahan atau dunia E.O., pasti menganggap ini cerita basi.

Repotnya saya sebagai batur adalah, saya tidak memegang uang, dan tidak mungkin saya talangi dengan uang saya yang seuprit itu. Harusnya uang majikan saya yang keluar, tapi kalau majikan saya saja susah ditemui, bagaimana mau minta uangnya? Yang sulit adalah, kalau para pendukung itu mempunyai massa yang lumayan, biasanya mereka tak segan-segan menggunakannya untuk mengancam. Wah, inilah politik dagang sapi ala Indonesia. Massa mengambang pun bisa dijadikan duit. Pusiiing!

(oleh: Bhayu M.H., diposting di http://www.lifeschool.wordpress.com, dimuat pertama kali di blogdetik pada 18 Juni 2009)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s