Bisnis Riil vs Bisnis Semu (1)

Gara-gara Robert Kiyosaki merilis buku Rich Dad Poor Dad, orang jadi banyak yang tahu apa itu passive income. Mereka tahu bahwa ada empat kuadran dalam mencari penghasilan. Dan meski itu memang semata kreasi Kiyosaki, toh sebagai teori ia belum memiliki antitesis memadai hingga kini. Maka, masih banyak yang menggunakannya.

Akan tetapi, di Indonesia saya melihat kata “passive income” lebih diartikan sebagai “mendapat penghasilan tanpa perlu capek-capek bekerja”. Karena pada dasarnya puak Melayu ini pemalas –seperti dikatakan Dr. Mahathir Mohamad- maka tentu saja konsep ini laris manis. Implementasinya lantas diejawantahkan dengan aneka bentuk sistem yang menjanjikan “kaya tanpa bekerja”.

Saya sudah pernah mencoba masuk sistem-sistem itu, sekedar untuk mengetahui cara kerjanya. Logika yang dipakai adalah logika ala Mr. Bean, yang ternyata masuk buat sebagian besar orang Indonesia yang rupanya gemar bermimpi. Kita lihat begitu banyak bisnis yang menjanjikan “arisan berantai” berakhir dengan kebangkrutan atau uang nasabah dibawa lari pemiliknya, tapi masyarakat seperti tidak belajar darinya.

Sesungguhnya, “passive income” bukanlah “kaya tanpa bekerja”. Itu adalah suatu metode penempatan investasi dengan perhitungan cermat, sehingga investasi kita itu dapat membuahkan hasil secara otomatis tanpa perlu campur tangan kita lagi. Kenapa bisa begitu? Karena sistemnya berjalan.

Kata sistem ini harus diperhatikan. Karena ini menyangkut manajemen bisnis yang berarti terikat hukum permintaan dan penawaran (supply and demand). Sistem pasar bebas yang melandasi kapitalisme mengharuskan adanya konsumen untuk dituju. Dan ini tidak semudah menuliskan sistem piramida di atas kertas. Sistem piramida ala MLM atau arisan berantai yang mengandalkan pengumpulan anggota sebanyak-banyaknya adalah hal mustahil. Karena n atau jumlah maksimum “kaki” atau “level keanggotaan” tak terbatas, maka bila sistem itu berhasil 100 % maka perhitungannya niscaya akan menjadi mustahil. Saya beri contoh. Dalam sistem piramida yang mengharuskan merekrut 10 anggota misalnya, bila sistem itu berjalan sempurna, maka hanya dalam 10 level jumlah anggotanya akan melebihi jumlah penduduk bumi yaitu 10 milyar (1010), padahal jumlah penduduk bumi hanya 5 milyar lebih. Apakah akan merekrut anggota dari penduduk Mars atau bangsa jin sekalian? Maka, saat menjelaskan sistem ini, yang terjadi adalah permisif… “yaa, sistem kan tidak bisa sempurna.” Jadi, bagaimana bisa sistem macam ini menjanjikan sesuatu bila ia tahu tidak akan berjalan sempurna? Maka, sistem piramida bukanlah bisnis “passive income”, melainkan bisnis semu. Bisnis yang bukan bisnis. Pseudo bisnis.

Sementara, di bisnis riil, meski tidak ada yang sempurna di dunia, tentu sistem akan meminimalisir potensi kesalahan. Suatu produk, coklat misalnya, tidak akan diproduksi massal kalau dari hasil tes rasanya tidak enak atau terlalu gampang lumer. Dengan demikian, sistem dipastikan berjalan sempurna. Tidak mungkin suatu produk akan dilempar ke pasar bila kesempurnaan sistem tidak menjadi tujuan. Contoh sederhana bila coklat tadi diproduksi, tapi sistem pemasaran, distribusi, penagihan, pengadaan bahan, pergudangan, dan lainnya belum siap, niscaya akan jadi sia-sia. Produk akan menumpuk saja dan tidak bisa dipasarkan.

Maka, kesalahan yang jelas bisa dihitung di atas kertas tapi diabaikan jelas akan berakibat penipuan atau pembohongan publik. Dan itulah salah satu ciri bisnis semu.

(oleh: Bhayu M.H., diposting di http://www.lifeschool.wordpress.com)