Tentang Seorang Yang Terbunuh Di Hari Pemilihan Umum
“Berikanlah suara-Mu.”
Di bawah petromaks kelurahan mereka menemukan liang luka yang lebih. Bayang-bayang bergoyang sibuk dan beranda meninggalkan bisik. Orang ini tak berkartu. Ia tak bernama. Ia tak berpartai. Ia tak bertanda gambar. Ia tak ada yang menangisi, karena kita tak bisa menangisi. Apa gerangan agamanya?
“Juru peta yang Agung, di manakah tanah airku?”
Lusa kemudian mereka membacanya di koran kota, di halaman pertama. Ada seorang yang menangis entah mengapa. Ada seorang yang tak menangis entah mengapa. Ada seorang anak yang letih dan membikin topi dari koran pagi itu, yang diterbangkan angin kemudian. Lihatlah. Di udara berpasang layang-layang, semua bertopang pada cuaca. Lalu burung-burung sore hinggap di kawat-kawat, sementara bangau-bangau menuju ujung senja, melintasi lapangan yang gundul dan warna yang panjang, seperti asap yang sirna.
“Tuhan, berikanlah suara-Mu, kepadaku.”
{Goenawan Mohamad, 1971}
Catatan Bhayu M.H. : Tema Pemilihan umum tetap menjadi pilihan saya untuk ditampilkan dalam puisi. Kali ini saya menemukan puisi lama karya Goenawan Mohamad, yang dari tahun pembuatannya ditulis menjelang Pemilu 1971, Pemilu pertama di zaman Orde Baru. Suasana teror pasca Peristiwa 1 Oktober 1965 masih terasa. Dan saya pikir menarik mencermati lagi makna tersirat puisi itu di tahun 2009 ini, saat bangsa kita juga tengah menghadapi Pemilu.
Sumber puisi: goenawanmohamad.com