Saya dalam beberapa hari belakangan ini sedang membaca buku karya Seno Gumira Ajidarma (SGA) terbitan tahun 1997 yang dicetak ulang tahun 2005. Buku itu berjudul Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara. Salah satu puisi yang tercantum di buku itu saya posting kemarin. Buku itu baru saya beli di bursa buku bekas MP Book Point seharga sepuluh ribu rupiah saja. Meski rasanya saya pernah punya, tapi malas mencarinya di antara tumpukan sekitar 3.000-an buku koleksi saya yang tidak terkatalogisasi. Mending beli lagi saja dengan resiko punya buku dobel daripada nanti malah susah lagi mencari buku yang saya memang minati itu.
Saya merasakan nuansa kegeraman atas perlakuan zalim yang diterima oleh SGA saat membaca buku itu. SGA orang pintar dan jenial. Saya mengaguminya sedari dulu. Tapi saya tak pernah kenal langsung meski beberapa kali berpapasan saat di kampus atau event lain. Selain karena kepiawaiannya mengolah kata, saya memandangnya sebagai pemberani dan memiliki prinsip teguh. Buku itu -sekedar memberikan gambaran bagi Anda yang belum tahu atau lupa- adalah semacam pledoi atas kasus pemuatan berita Tragedi Santa Cruz Dili 12 November 1991 di majalah Jakarta-Jakarta tempat SGA bekerja. Sebagai pledoi, ia dilengkapi dasar argumen dan fakta jelas, sehingga tidak sekedar berapologi. Toh, meski begitu, ia tetap menerima perlakuan zalim. Tidak cuma dari pemerintah dan ABRI, tapi juga dari media tempatnya dan kelompok konglomerasi media yang menaunginya. Buku itu justru dibuat pasca kezaliman itu diterimanya sehingga selain sebagai pledoi juga sekaligus sebagai memoar.
Sebagai orang muda, saya bisa merasakan emosi penulisnya saat membaca buku itu. Terlebih, buku itu ditulis lebih dari sepuluh tahun lalu, dimana tentu SGA juga masih muda seperti saya. Dan saya menjadi lebih arif saat harus memahami, terkadang kita memang harus mengalah untuk menang. Kalau kata gojekan Jawa, ”sing waras ngalah.”
Beberapa kali saya mengalami kejadian semacam, tapi tentu dengan skala dan dalam bidang kehidupan yang berbeda. Saya yakin saya benar, didukung fakta dan bukti, dan sebaliknya lawan tidak bisa membuktikan ketidakbenaran saya, tapi tetap saja saya dipaksa untuk kalah atau mengalah.
Kasus terbaru yang saya alami sebenarnya kecil saja. Ora patheken karena terjadi di dunia maya. Tapi baiklah saya ceritakan saja. Saya adalah owner atau moderator dari beberapa milis, tapi juga aktif sebagai member biasa di sejumlah milis lain. Baru-baru ini saya baru sadar bahwa saya sepertinya di-ban tidak boleh posting di salah satu milis beranggotakan ribuan orang. Kebaru-sadaran itu karena saya memang jarang membuka milis itu. Bahkan posting saja paling-paling baru 7-8 kali saja. Saya baru ’ngeh’ setelah mendapati dua postingan terakhir saya ternyata tidak ada di milis. Herannya, tindakan tersebut dilakukan tanpa peringatan dan teguran apa pun. Aneh sekali. Padahal, saya sudah membaca dengan jelas aturan mereka yang ribet itu, dan rasanya tidak melanggar apa pun. Misalnya saya beriklan di hari iklan, dilengkapi kode ”Iklan”, tidak SARA, dan sebagainya. Terus terang saja, memang milis itu adalah milis teribet aturannya yang pernah saya ikuti.
Saya tidak mau berprasangka. Tapi ada kejadian lain yang mungkin terpisah, tapi bukan tidak mungkin berhubungan karena berlangsung dalam waktu bersamaan. Di milis yang saya kelola, diserang hacker yang cukup pintar. Demikian pula e-mail saya dibanjiri message ajakan bergabung ke milis-milis aneh, sebutlah namanya semacam ”kyrzikhfish@yahoogroups.com”. Tentu tujuannya adalah mencuri password. Saya agak heran, andaikata kedua kejadian itu ada hubungannya, alangkah zalimnya orang yang melakukan. Saya curiga berhubungan karena orang-orang di milis tadi ada yang begitu jago IT dan mungkin pernah tersinggung karena saya kritik. Padahal, kritikan itu saya sampaikan untuk perbaikan. Bahkan saya sekaligus menawarkan diri berpartisipasi memperbaiki kekurangan dan sekalian pula memberikan solusi. Apa yang kurang?
Dalam kasus saya di-ban itu, saya heran karena milis itu dipenuhi orang-orang yang penampilannya sangat agamis, yang nota bene dari agama saya sendiri. Saya jadi malu, tindakan zalim semacam itu rasanya memang yang membuat agama saya distigmakan sebagai teroris atau suka kekerasan. Bayangkan, menghukum seseorang tanpa orang itu tahu apa kesalahannya. Tuhan saja tidak begitu!
Tapi biarlah, itu rumah mereka. Dan implikasinya mereka berhak membuat aturan sendiri. Tapi dalam kasus milis saya diserang, itu rumah saya bos! Dan saya akan mempertahankan rumah saya sebisa mungkin. Semoga saja saya yang salah kira menganggap dua kejadian itu berhubungan. Tapi andaikan pun tidak berhubungan, tetap saja kasus pem-ban-an saya tanpa keterangan apa pun adalah tindakan zalim.
Meneruskan membaca lagi buku SGA tadi sambil mengetik postingan ini, saya sadar bahwa kezaliman yang saya alami ’nggak ada upil-upilnya’ dibandingkan SGA. Tapi yang saya bingung, kenapa orang-orang zalim itu selalu merasa dirinya paling suci ya?
(oleh Bhayu Mahendra H., diposting di http://www.lifeschool.wordpress.com)