Beberapa hari lalu, saya bertemu dengan seorang Redaktur Pelaksana majalah wanita yang tidak terkenal. Kebetulan, yang bersangkutan hadir di sebuah acara yang saya turut prakarsai. Ia sebenarnya hendak bertemu dengan reporter dari sebuah majalah ekonomi terkemuka di acara yang sama. Dan oleh reporter tersebut, ia diperkenalkan kepada saya. Saat itu, kami berbincang akrab bahkan ia meminta tim kami sebagai nara sumber di majalahnya.
Dua hari kemudian, saya menelepon yang bersangkutan dan mencoba membuat jadwal untuk bertemu di kantornya. Apa jawabannya? “Aduh, gue masih sibuk nih sampai tanggal sekian…” Lalu saya tanya, sibuk apa, apakah sedang dateline? Dan ia menjawab, “Dateline sih tiap minggu, ya ada deh. Habis tanggal sekian itu baru jadwal gue agak longgaran. Ntar gue telepon lu deh ya.” Saya berani bertaruh –andai taruhan dibenarkan agama saya- kalau dia tidak akan pernah telepon saya. Pasalnya, tanggal yang disebutkannya itu berjarak sekitar satu bulan ke depan. Pastinya ia bakal lupa, wong ia pun lupa –atau pura-pura lupa- pada saya dan reporter yang ditemuinya di acara tadi, yang nota bene rekan saya.
Dalam waktu berdekatan, saya dibuatkan janji oleh partner saya untuk bertemu dengan Bapak H.B. Supiyo. Bagi Anda pembaca setia majalah Swa, pasti tahu beliau adalah kolumnis tetap dari rubrik bernama “Sela” yang terletak di halaman terakhir. Positioning-nya kira-kira setara dengan “Catatan Pinggir”-nya Mas Goenawan Mohammad di Tempo. Dan beliau tanpa banyak cing-cong menerima kami untuk bertamu di rumahnya. (Perbincangan kami memberikan banyak inspirasi, sehingga dalam beberapa kesempatan ke depan Anda akan membaca tulisan saya yang terinspirasi dari beliau).
See… yang pertama terkesan begitu sibuknya. Padahal, ia cuma bekerja di sebuah majalah tidak terkenal, dan saya pun tidak pernah mendengar namanya. Tapi lihatlah bagaimana seorang sekaliber Pak Piyo –begitu kami memanggilnya- dengan mudah mengaturkan jadwal untuk bertemu. Orang yang sibuk ternyata malah tidak sesibuk itu, sementara yang tidak sesibuk itu malah mengesankan dirinya sangat sibuk.
Masalahnya bisa jadi di penjadwalan. Bila memang benar begitu, orang pertama tadi harusnya ikut training time management. Tapi bila prasangka saya benar –dan biasanya benar- memang yang bersangkutan tidak mau bertemu saya, karena menganggap saya unworthy.
Yeah, saya sering sekali dianggap begitu. Hal ini ternyata juga terjadi pada orang-orang lain yang kalibernya sudah jauh lebih hebat daripada saya. Ustadz Lihan salah satunya. Ia sering sekali dilecehkan, bahkan saat ia sudah jadi milyarder. Semata karena penampilannya yang sederhana, wajahnya yang lugu dan ‘muka ndeso’ plus tubuhnya yang kecil-kerempeng. Tapi ia cuma menganggap sepi semua itu. dan orang-orang yang berlaku zalim padanya akhirnya kena batunya. Saya akan ceritakan soal ustadz fenomenal ini Senin pekan depan.
Pada akhirnya, saya makin sadar, bahwa manusia itu memang gudangnya dosa dan alpa. Ia merasa begitu hebat hingga berjalan di muka bumi Tuhan dengan menegakkan kepala dan membusungkan dada. Lupa bahwa dirinya sejatinya bukan siapa-siapa. Dibandingkan sesama manusia saja hanya satu titik dibanding lima milyar orang lain di atas planet ini. Lalu apa yang disombongkan?
(Bhayu Mahendra H.)
Keterangan Foto : Saya & partner bersama Pak H.B. Supiyo & istri