Viktor Bout & Perdagangan Senjata (2)

Di negara-negara maju dimana senjata boleh dimiliki secara bebas, harga senjata tidaklah mahal. Dulu, sewaktu sempat kenal dengan ‘orang-orang pelabuhan’, saya sempat ditawari membeli pistol. Harganya murah, cuma 2 sampai 5 jutaan. Sebagai pembanding, harga pistol resmi berizin Polri mencapai 50 hingga 60 jutaan. Tentu saja, pistol dari ‘orang pelabuhan’ itu serupa dengan barang dagangannya Bout.

Selain pernah bertemu ‘orang pelabuhan’, saya juga pernah bertemu dengan ‘rekanan’ yang katanya bisnisnya memasok perlengkapan untuk Mabes ABRI (dulu sebelum pisah dari Polri). Tapi ia mengatakan hanya memasok perlengkapan non-senjata. Cuma agak bingung juga melihat kantornya yang terdiri dari ruko empat lantai tapi cuma satu lantai yang dipakai dan sangat kosong. Rupanya ia semacam calo sehingga tidak memproduksi produk sendiri. Tapi ya agak mencurigakan karena kesannya kantor itu sewaktu-waktu bisa dipindahkan atau ditutup kalau perlu.

Nah, calo inilah yang membuat rantai distribusi barang menjadi panjang. Dan inlah yang membuat harga barang termasuk senjata jadi mahal. Karena seharusnya sebenarnya dengan izin resmi pun, harga senjata seharusnya tidak semahal itu.

Juga harga barang-barang lain. Negara kita ini menjadi mahal harga barangnya selain karena pajak, juga karena panjangnya rantai distribusi dan rumitnya perizinan. LifeLearner pasti tahu dong, kalau harga mobil kita adalah salah satu yang termahal di dunia? Bayangkan saja, kita ini negara ‘nyaris miskin’, tapi harga barangnya salah satu yang termahal di dunia. Jakarta setahu saya juga merupakan salah satu kota dengan biaya hidup tertinggi di dunia.

Nah, kembali ke soal senjata. Senjata ini merupakan komoditas ‘seksi’, karena manusia memang punya naluri memangsa sesamanya. Homo homini lupus. Atau kehendak untuk berkuasa ala Nietzsche, The Will to Power. Pemilikan senjata merupakan cara menunjukkan pemilikan kekuasaan. Salah satu sebab angkatan bersenjata di negara berkembang seringkali melakukan kudeta atau menguasai pemerintahan ya karena faktor mereka punya senjata sebagai alat tawar, bahkan alat pemaksa.

Dalam situasi tidak aman apalagi konflik, senjata dibutuhkan oleh pihak yang bertikai untuk memenangkan tujuan mereka. Calo mampu menerobos rambu-rambu birokrasi dan aturan lain untuk segera mendapatkan barang yang diinginkan. Dan terbukti dalam konflik yang merebak di tanah air, senjata baik rakitan maupun organik mudah ditemui di lapangan. Kondisi geografis alam kita yang sulit diawasi membuat penyelundupan makin mudah.

Satu yang jelas, penguasaan senjata tidak akan membuat hidup bertambah baik. Apalagi penggunaannya. Sayangnya, karena senjata adalah bisnis bagus, maka pasti negara-negara produsennya tak akan mau mengurangi produksinya. Maka, pada saat ini, seruan seperti yang dilambangkan oleh patung yang ada di depan gedung PBB di New York rasanya masih jadi utopia. Patung itu menggambarkan manusia menempa senjata menjadi alat-alat pertanian yang lebih berguna bagi kehidupan. Kapankah itu terjadi?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s