Dua hari lalu, Jum’at malam (12/12) Festival Film Indonesia yang malam puncaknya diselenggarakan di halaman Gedung Sate-Bandung menghasilkan sejumlah kejutan. Para praktisi film muda berhasil meraih piala Citra dalam hampir semua kategori yang dilombakan. Anda semua tentu sudah membaca beritanya di media massa.
Tapi yang luput dari perhatian media massa justru ada ajang festival yang berlangsung dalam waktu berdekatan, hanya di bidang berbeda yaitu periklanan. Ajang festival itu bernama Citra Pariwara. Dulu, ajang ini bernama Citra Adi Pariwara. Namun semenjak 2007, diganti namanya jadi Citra Pariwara. Bagi yang belum tahu, ini adalah ajang paling bergengsi bagi iklan periklanan Indonesia. Jelas setara dengan FFI di bidang film. Sementara di level berikut ada Pinasthika Award yang bisa disetarakan dengan Festival Film Bandung.
Saya tidak tahu, apa sebab FFI bisa menempati pemberitaan di halaman pertama Kompas edisi Sabtu (13/12) secara gratis, sementara Citra Pariwara terpaksa harus bayar iklan di halaman 14 Kompas edisi Minggu (14/12). Apakah karena orang iklan kalah jago PR-nya dari orang film?
Saya tidak tahu. Tapi tampaknya Citra Pariwara makin berkurang gaungnya. Padahal, iklan sudah jadi bagian dari kehidupan masyarakat modern. Ia mengisi ruang publik dengan beragam informasi, dan yang paling penting adalah kreativitas. Media massa tanpa iklan akan jadi media massa yang garing. Coba saja lihat koran kuning yang cuma mengandalkan sirkulasi. Atau dengarkan radio tanpa iklan. Atau bagi yang masih ingat, tayangan TVRI di tahun 1980-an. Garing kan?
Hanya saja, masyarakat kita memang masih belum dewasa. Kerap kali ada iklan yang dikritik justru oleh orang awam. Alasannya biasanya masalah etis. Ada yang merasa tersinggung karena agama atau suku bangsanya seolah disindir dalam iklan. Padahal, iklan yang baik adalah iklan yang mampu menyentuh top awareness dalam pikiran audience. Dan itu bisa dicapai dengan ‘nyerempet bahaya’ atau humor.
Demikian pula film. Kasus dihalanginya shooting film karya Erros Djarot berjudul “Lastri”oleh penduduk di desa Wedi, Klaten. Alasannya, film itu “berbau PKI”. Rupanya, pasca reformasi, masih banyak golongan masyarakat yang terkena stigma macam itu. Rupanya, ketiadaan Departemen Penerangan pasca dibubarkan Presiden Abdurrahman Wahid berimbas banyak pada penafsiran sesuai selera tiap golongan masyarakat. Berbagai informasi begitu mudah simpang-siur tanpa regulasi.Akibatnya, kelas-kelas dalam civil society yang belum matang terbentuk ini harus berjuang sendiri-sendiri mempertahankan hidupnya.