Budaya Korupsi Indonesia

Kemarin, KPK menetapkan tanggal 9 Desember sebagai “Hari Anti Korupsi”. Ini merupakan upaya sosialisasi gerakan anti korupsi. Entah siapa yang mengusulkan, KPK membuat logo, slogan dan format gerakan bak para mahasiswa atau aktivis. Logo yang ditampilkan adalah tangan mengepal ke atas dililit kawat berduri dengan latar belakang warna merah, amat mirip dengan gambar yang biasa tampil di gerakan revolusioner kiri. Belum lagi slogan “Lawan Korupsi!” yang mengingatkan pada slogan gerakan reformasi dan pro-demokrasi 1998: “Hanya Satu Kata: Lawan!”. Anda tentu masih ingat kalau slogan ini berasal dari puisi karya Widji Thukul.

Barangkali karena di tubuh KPK sekarang ada mantan aktivis yaitu Chandra M.Hamzah, S.H. Dia adalah mantan Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua KPK. Atau memang KPK sejatinya terinspirasi dari gerakan pro-demokrasi atau reformasi. Belum lagi aksi menggaet grup band Slank sebagai endorser. Wah, kampanye anti korupsinya benar-benar terpadu menggunakan strategi IMC. Salut!

Tentu saja tindakan tersebut patut dipuji. Apalagi negeri kita selalu menduduki peringkat atas dalam indeks korupsi dunia. Sebuah ‘prestasi’ yang tidak patut dibanggakan. Na mun perlahan tapi pasti, tindakan tegas KPK membuat korupsi menjadi sebuah tindakan yang ditakuti.Kini, hampir semua aparat pemerintahan berhati-hati dalam bertindak. Malah, mungkin terlalu berhati-hati hingga konon banyak proyek tertunda karena baik kontraktor maupun aparat birokrasi takut salah melangkah. Inilah yang seyogyanya lebih disosialisasikan KPK. Apa sebenarnya batasan korupsi.

Karena dalam dunia perdagangan, adalah lazim mengambil laba dari produk atau jasa yang diperdagangkan. Kalau tidak, darimana para pedagang akan hidup? Demikian pula penjualan produk atau jasa kepada pemerintah, tentu boleh-boleh saja menambahkan harga. Hanya saja, ada ukurannya, yaitu sewajarnya. Adalah tidak wajar misalnya, bila harga sebuah pensil kayu biasa dibandrol 50.000 rupiah misalnya. Tapi kalau harga pasar Rp 2.500,00 dan dijual antara Rp 2.000,00 hingga Rp 3.500,00 rasanya masih wajar. Yang jadi masalah, harga itu biasanya dikalikan dengan jumlah yang besar. Jadi selisih Rp 50 saja akan sangat besar artinya. Misalnya saja harga tanah petani di Rancamaya yang di tahun 1992 dihargai cuma Rp 200,00 saja, tentu akan sangat besar selisihnya bila dikalikan ratusan ribu meter persegi. Tanah-tanah petani itu, bagi yang ingat, dibebaskan pemerintah dengan SK resmi namun untuk kepentingan pembangunan sebuah perumahan mewah milik swasta. Padahal, di tahun itu saja, harga tanah tentunya tidaklah semurah itu. Nah, kalau macam itu, barulah disebut korupsi.

Juga pada prosedur. Karena bila sebuah proyek apalagi proyek pemerintah dilakukan tanpa prosedur, itu namanya nepotisme. Penunjukan langsung untuk pengadaan barang dan jasa merupakan indikasi adanya nepotisme. Dan nepotisme terkait erat dengan kolusi dan korupsi. Karena biasanya pihak yang berwenang mengeluarkan persetujuan pengadaan barang/jasa akan meminta bagian dari pihak yang ditunjuk mengadakan barang/jasa. Praktek macam ini amat lazim terjadi dan sudah membudaya di negeri ini.

Bagi LifeLearner yang berprofesi sebagai pengusaha tentu sudah sangat mafhum hal ini. Akan tetapi, bagi yang masih karyawan, mungkin hanya yang di bagian purchasing atau marketing yang tahu seluk-beluk pengadaan barang/jasa ini. Di sinilah amat rawan terjadinya tindak korupsi.

Dan untuk membasmi korupsi yang sudah membudaya, tentu perlu waktu lama. Walau begitu, kita tak boleh patah arang. Kerja sudah dimulai oleh KPK, kitalah yang harus ikut menuntaskannya. Kalau bukan kita, siapa lagi yang peduli pada Indonesia?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s